Miris, Tren Kasus Besar KPAI Terkait Korban Kekerasan Seksual
VIVA – Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menegaskan bahwa tren laporan kasus yang besar di tahun 2021 terkait kekerasan seksual anak. Kondisi ini sepatutnya menjadi perhatian agar korban anak mendapatkan fokus tepat.
“Tiga tren besar laporan kasus yang diterima oleh KPAI pada tahun 2021 adalah anak korban kekerasan seksual, anak korban kekerasan fisik, dan anak korban pornografi," tuturnya dalam acara virtual KPAI, Kamis 28 April 2022.
Dengan adanya laporan tersebut, seharusnya anak-anak berhak menerima resusitasi. Ada pun Susanto menjelaskan bahwa terdapat enam kelompok anak-anak yang berhak mendapatkan restitusi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
Diantaranya Anak korban kekerasan seksual, anak korban kekerasan fisik dan psikis, Anak korban eksploitasi ekonomi seksual, Anak korban pornografi, Anak berhadapan dengan hukum, dan Anak korban traffickingÂ
"Melihat dari tren laporan, tiga kasus tersebut sebenarnya secara regulasi berhak mendapatkan restitusi walaupun dengan syarat. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan yang sangat besar untuk memastikan anak-anak yang menjadi korban itu tidak hanya mendapatkan layanan hukum setuntas mungkin tetapi juga mendapatkan restitusi," katanya.
Pemenuhan Hak Resusitas Anak Korban Tindak Pidana sendiri saat ini telah menjadi Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal tersebut dilakukan lantaran banyaknya kendala terkait kasus kekerasan seksual yang kerap merugikan korban.
"Pemenuhan hak restitusi bagi korban itu masih menemui banyak hambatan dan kendala, apalagi sebelum kita memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Penandatanganan PKS Tiga Lembaga Negara ini menjadi sebuah ikhtiar dan upaya Pemerintah untuk para korban, khususnya anak-anak," ujar Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, di kesempatan yang sama.
Penandatanganan PKS tersebut telah dilakukan oleh ketiga pihak tersebut mengingat situasi urgensi untuk melindungi anak Indonesia dalam memenuhi hak restitusinya yang kerap gagal. Hal itu baik dalam konteks pendampingan, proses hukum, dan eksekusi di dalam ranah putusan yang sudah mengikat hasil dari pengadilan.Â
Dalam prosesnya, berbagai kendala kerap terjadi mulai dari proses yang mandat hingga minimnya permohonan restitusi dalam laporan formal di tingkat aparat penegak hukum. Dengan hak resusitasi, maka anak korban pidana mendapatkan keadilan atas kerugian yang dialami.
"PKS ini lahir untuk menguatkan implementasi ketika terjadi hambatan-hambatan di lapangan dimulai dari penyidikan hingga putusan. Dengan PKS ini KemenPPPA, KPAI, dan LPSK dapat saling berkolaborasi, bahu-membahu, dan bergerak bersama memberikan hak-hak serta kepentingan terbaik untuk korban," ujarnya.