Anak Kanker Tak Bisa ke RS Karena Pandemi, Ini Penanganannya

Ilustrasi anak sakit.
Sumber :
  • freepik/lifeforstock

VIVA – Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan GLOBOCAN menyatakan, terdapat 400 ribu kasus baru anak dengan kanker di seluruh dunia. Hal itu diungkap oleh Ketua UKK Hematologi Onkologi Anak IDAI, Dr. dr. Tenny Tjitra Sari SpA(K). 

Labu Siam dapat Mencegah Penyakit Kanker? Ini Dia Makanan Sehat yang Bisa Jadi Pertahanan Tubuh!

Sayangnya, menurut dia, masih terjadi perbedaan besar dalam angka kesintasan (tingkat kelangsungan hidup), di mana angka kesintasan hanya 20 persen di negara menengah dan negara miskin.

"Sedangkan di negara maju, angka kesintasan bisa mencapai 80 persen. Penyebab kematian tinggi di negara berkembang dan miskin karena sebagian besar pasien datang dengan stadium lanjut," ujarnya dalam simposium ilmiah 'Terapi Suportif pada Anak dengan Kanker', yang digelar Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI), Sabtu 26 Februari 2022. 

Dharma Sebut Bio Weapon untuk Pandemi Selanjutnya Sudah Disiapkan, Gong Kematian Pengusaha Jakarta

Tenny menambahkan, masalah juga dialami karena akses pada tenaga ahli, dalam hal ini dokter spesialis anak konsultan hematologi dan onkologi yang terbatas. 

Ilustrasi ayah dan anak.

Photo :
  • Freepik/freepik
Hati-hati, Saraf Kejepit yang Tak Diobati Bisa Berujung Stroke dan Merambat ke Organ Vital Lain

"Saat ini hanya ada 63 konsultan hematologi onkologi anak di Indonesia yang sebagian besar berada di Indonesia bagian Barat dan Tengah," ungkapnya. 

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, dalam pidato pembukaan simposium menyatakan, kanker termasuk penyakit dengan beban pembiayaan terbesar setelah jantung. 

"Kemenkes sudah membuat Rencana Aksi Nasional Penanggunlagan Kanker, salah satunya untuk kanker leukemia pada anak, kami akan meningkatkan akses pelayanan di seluruh faskes, dan sistem rujukan pasien leukemia dari fakses pertama ke faskes lanjutan dengan pelayanan dari spesialis hematologi onkologi anak," tuturnya. 

"Kita memiliki target di tahun 2030 sebanyak 60 persen pasien leukemia bisa disembuhkan, sehingga perlu kerjasama dari seluruh pihak agar tujuan ini bisa dicapai,” tambah Menkes.

Terapi suportif pada pasien kanker anak

Ilustrasi anak/balita.

Photo :
  • Freepik/rawpixel.com

Terapi suportif adalah terapi pendukung yang penting diberikan untuk penderita kanker anak. Konsultan hematologi onkologi anak dari RSUD dr Saiful Anwar Malang, Dr. Susanto Nugroho SpA(K), menjelaskan, terapi suportif adalah terapi penatalaksanaan dan pencegahan efek samping akibat pengobatan kanker, baik kemoterapi, radiasi, maupun bedah. Tujuan terapi suportif pada pasien kanker anak adalah meningkatkan kualitas hidup pasien. 

"Selama ini, fokus penanganan kanker pada anak masih lebih mengutamakan terapi kanker dan komorbid, tetapi terapi untuk gejala dan efek samping pengobatan dan kebutuhan pasien masih belum maksimal," kata dia. 

Susanto menjelaskan, pengobatan suportif pada kanker anak terdiri dari terapi untuk mengendalikan komplikasi, manajemen nyeri, hingga dukungan psikososial, spiritual, dan emosi. Terapi suportif harus dilakukan oleh tim multidisipilin yang terdiri dari dokter, perawat, pekerja sosial, dan orangtua pasien. 

Sementara itu, Konsultan hematologi onkologi dari RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, Dr. Eka Destianti Esward, SpA(K), memaparkan tentang manajemen nyeri pada pasien kanker anak. 

"Nyeri bisa muncul di berbagai stadium kanker, bahkan sebelum kankernya ditemukan. Pada pasien kanker anak, nyeri bisa karena efek samping pengobatan atau nyeri yang tidak berhubungan dengan penyakitnya namun mengganggu, misalnya sakit gigi, osteoartritis, atau trauma. Inilah sebabnya nyeri harus segera ditangani," terang dia. 

Dokter Eka mengatakan, anak dengan kanker dapat merasakan nyeri ringan atau nyeri hebat yang ditandai dengan terus menangis dan gelisah. Untuk mengatasi nyeri bisa dilakukan dengan memodifikasi lingkungan, misalnya mengurangi aktivitas yang memperberat nyeri dan menggunakan alat bantu jalan. 

"Selain itu bisa dengan pendekatan psikoterapi, seperti meditasi, relaksasi, akupunktur dan lainnya. Pemberian obat analgesik dimulai dengan parasetamol atau ibuprofen, dan jika tidak berkurang bisa langsung diberikan opiat (morfin) untuk nyeri hebat,” jelas dr. Eka. 

Kendala terapi suportif selama pandemi COVID-19

Ilustrasi anak sakit.

Photo :
  • Pixabay

Ditambahkan dr. Susanto, ada hambatan terapi suportif selama pandemi COVID-19. Oleh karena itu, perlu dilakukan strategi pendekatan yang berbeda. Pasien tetap harus mendapatkan pengobatannya meskipun tidak bisa ke rumah sakit. 

"Bagi pasien yang kondisi penyakitnya sudah di tahap akhir, (terminal stage), terapi paliatif tetap dilanjutkan di rumah. Pasien kanker anak yang memiliki gejala sedang, bisa ditangani dengan telemedicine atau homecare," paparnya. 

“Strategi yang dilakukan selama pandemi adalah tetap memberikan asesmen dan pemantauan, dan mengevaluasi kebutuhan terapi suportif sesuai skala prioritas. Obat yang diberikan pun biasanya bukan obat yang agresif dan malah dapat ditunda, dengan pemberian obat nyeri lebih banyak dan tetap melakukan telemedicine," imbuh. dr. Susanto.

Menkes Budi

Teknologi Baru di Mandaya Royal Hospital, Mengurangi Beban Pasien Kanker

Dengan kombinasi teknologi mutakhir, dukungan pemerintah, dan kolaborasi lintas sektor, masa depan pengobatan kanker di Indonesia semakin menjanjikan, memberikan harapan.

img_title
VIVA.co.id
22 November 2024