Alasan Pemerintah Tak Hentikan PTM 100 Persen Meski Kasus Omicron Naik
- tvOne/ Teguh Joko Sutrisno (Semarang)
VIVA – Awal Januari 2022 pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai menerapkan Pembelajaran Tatap Muka 100 persen di wilayah level 1 dan level 2. Namun, di tengah penerapan kebijakan tersebut, kasus Omicron di Indonesia mengalami kenaikan. Lantas, mengapa pemerintah tetap melaksanakan PTM 100 persen?
Terkait hal itu, Ditjen PAUD, Dikdas dan Dikmen, Direktur Sekolah Dasar, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd angkat bicara. Dia menjelaskan bahwa keputusan PTM sudah melalui sejumlah evaluasi baik dari pemerintah maupun non pemerintah. PTM ini dilakukan juga lantaran dampak Pembelajaran Jarak Jauh yang menimbulkan salah satunya ketertinggalan mutu pembelajaran.
"PJJ terlalu lama ini menimbulkan masalah salah satunya ketertinggalan mutu pembelajaran. Dampaknya banyak yang kita lihat ada kelas 3 kelas 4 yang tidak bisa membaca," kata dia dalam Webinar Ruang Keluarga SoKlin Antisep yang bertajuk “PTM di Tengah Kasus Omicron yang Beranjak Naik, Bagaimana Orang Tua Menyikapinya”, Kamis 20 Januari 2021.
Selain itu, sejumlah masalah lain seperti kendala alat belajar seperti gadget, akses daring, kekerasan dalam rumah tangga, juga turut mendorong kebijakan PTM 100 persen.
"Kalau untuk wilayah di level 3 tidak 100 persen masih terbatas," kata dia.
Lebih lanjut, Sri menekankan bahwa untuk PTM 100 persen ini dilaksanakan dengan kriteria tertentu. Merujuk pada SKB 4 Menteri, PTM 100 persen ini bisa dilakukan di wilayah level 1, dan 2. Kemudian, kualitas vaksin membaik di mana pendidik sudah divaksin lengkap, demikian juga dengan peserta didik.
"PTM Terbatas dilakukan 100 persen dengan pelaksanaan bisa setiap hari dengan durasi belajar 6 jam, tapi untuk kantin belum dibuka. Pendidik sudah divaksin sudah mencakup 80 persen di wilayah level 1 dan 2," jelas dia.
Meski begitu, pemerintah juga terus mengutamakan kesehatan dan keselamatan dari anak-anak. PTM 100 persen ini bisa saja dihentikan sementara jika terjadi klaster di sekolah.
"Liat perkembangan kasus, kalau ada lonjakan kasus, ada fakta sekolah jadi klaster jadi gimana sikapinya sudah lengkap disebutkan SKB 4 Menteri penghentian sementara PTM tersebut," kata Sri.
Sebagai contoh, PTM dialihkan menjadi PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) selama 14 hari apabila terjadi klaster penularan Covid di satuan pendidikan. Kondisi kedua, sekolah tatap muka akan ditutup apabila hasil active case finding positivity rate warga sekolah terkonfirmasi positif lebih dari 5 persen.
Sekolah juga bisa ditutup selama 14 hari, apabila menjadi daftar hitam penyebaran COVID-19 dalam aplikasi Peduli Lindungi. Apabila di lingkungan ada kerumunan dan penyebaran kasus masif, kemungkinan sekolah untuk ditutup bisa terjadi. Namun berbeda bila hanya ada dua atau kasus COVID-19 di sekolah. Karena kemungkinan penyebaran COVID-19 tidak terjadi di sekolah tetapi di lingkungan keluarga siswa.