Belajar dari Gala, Pahami Gangguan Stres Pasca Trauma Pada Anak
- Freepik
VIVA – Kecelakaan maut yang menewaskan Vanessa Angel dan Febri Andriansyah menyisakan banyak cerita. Hingga saat ini, sang buah hati yang selamat, Gala Sky Andriansyah masih menjadi sorotan. Tak hanya soal perebutan hak asuh dan ahli waris, sisi lain mengenai Gala pun disorot.
Tak sedikit yang iba dengan kondisi psikologis Gala karena terus-terusan diberitakan dan dijadikan “senjata” untuk menaikkan popularitas bagi sebagian pihak yang memanfaatkan momen. Oleh sebab itu, dr. Lahargo Kembaren, Sp. KJ membahas mengenai gangguan stres pasca traumatis terhadap anak. Apa katanya?
“Suatu peristiwa traumatis itu bisa menyebabkan suatu respons mental emosional pada setiap orang bisa terganggu. Dan anak-anak apalagi yang masih kecil, cukup rentan karena peristiwa traumatis yang terjadi tentu berbahaya dan mengancam. Dia tidak hanya sebagai korban namun juga menyaksikan peristiwa tersebut,” kata dr. Lahargo dalam tayangan Doctopreneur berjudul Kenali Tanda Gangguan Pasca Trauma Anak di kanal YouTube VDVC Health yang tayang pada tanggal 6 Januari 2021.
Dokter Lahargo juga menjelaskan mengenai adanya efek samping berupa efek fisik dan psikologis yang timbul sehingga seseorang mengalami PTSD atau post-traumatic stress disorder.
“PTSD itu post-traumatic stress disorder adalah gangguan stres pasca trauma didahului dengan adanya peristiwa traumatis, contohnya kecelakaan lalu lintas, bencana alam, perang, bully-an, kekerasan fisik, mental, verbal dan seksual. Dan juga ada KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang berlangsung cukup panjang durasinya,” ujar dr. Lahargo melanjutkan.
Dokter Lahargo menuturkan bahwa ada reaksi yang disebabkan oleh PTSD. Reaksi stres akut disebabkan ketika gangguan stres hanya dialami pada hari pertama hingga satu minggu. Namun, kalau gejalanya sudah menetap sampai satu bulan, itu sudah dapat disebut dengan PTSD.
Ada beberapa gejala yang dialami seseorang ketika PTSD telah menimpanya. Pertama, re-experiencing, seperti mengalami kembali peristiwa tersebut. Gejala itu bisa berupa memori tiba-tiba yang mengingat peristiwa traumatisnya, atau bisa lewat mimpi buruk sehingga seseorang berteriak atau bisa flashback, dia merasakan lagi peristiwa traumatis yang sama.
“Gejala kedua adalah avoidance yaitu berusaha menghindari berbagai hal yang bisa memicu mengingat peristiwa traumatis itu misalnya nonton tv ada hal-hal kecelakaan. Dia akan menghindar, tidak mau menonton dan mematikan tv-nya,” ujar dr. Lahargo.
Seseorang yang mengalami gejala avoidance tidak akan berani dan tidak mau datang ke lokasi yang akan mengingatkan dia. Penderita PTSD dengan gejala terserbut juga akan mengalami memori yang hilang tiba-tiba seperti amnesia dengan peristiwa yang terjadi.
“Itu amnesia selektif, melupakan peristiwa traumatis itu,” ucap dia.
Gejala ketiga adalah hipervigilance, yaitu masalah emosional jadi gampang kaget, cemas, dan khawatir bahkan tumpul emosinya. Gejala ini menyebabkan seseorang seperti tidak ada ekspresi.
“Kalau pada anak ada yang secara khusus lebih jauh (gejalanya). PTSD bisa menimpa semua golongan umur, anak-anak hingga dewasa dan lansia. Jadi tidak melihat latar belakang umur dan apapun,” ungkap dr. Lahargo lagi.
Anggota keluarga sangat perlu mengetahui gejala PTSD yang dialami seorang anak. Ada gejala lain yang dialami anak yang tidak dialami orang dewasa.
“Memang kita sebagai orang terdekat yaitu keluarga perlu mengenal gejala PTSD pada anak. Kalau tiba-tiba dia teringat dan menangis, itu masuk gejalanya. Ada cemas perpisahan dengan orang terdekat,” ujar dia.
Gejala khusus pada anak yang mengalami PTSD adalah regresi, yaitu menurun fungsinya. Contoh dari kegiatan anak yang mengalami gejala PTSD yaitu yang sebelumnya sudah tidak mengompol jadi mengompol lagi. “Lalu yang tadinya tidak hisap jempol jadi hisap jempol lagi. Penting menilai secara dini dan memberikan penanganan yang tepat,” ujar dr. Lahargo.
Dokter Lahargo mengatakan bahwa support system dan dukungan psikologis yaitu keluarga dapat mendukung dan memastikan kondisinya aman dan nyaman bagi seorang anak.
“Ajarkan regulasi emosinya, dengan teknik manajemen stres, seperti teknik pernapasan, teknik grounding, relaksasi sehingga dia bisa nyaman dengan pikiran yang berat. Kalau parah bisa konsultasi ke spesialis kejiwaan,” tutur dr. Lahargo.