Jelang COP26: Anak Indonesia Paling Parah Terkena Dampak Krisis Iklim
- Istimewa
VIVA – Laporan Save the Children secara global yang dirilis September 2021 menjelaskan bahwa krisis iklim di Indonesia membawa dampak nyata dan dirasakan oleh anak – anak saat ini. Sementara itu sejumlah pemimpin dunia akan bertemu dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (KTT PBB) terkait perubahan iklim, atau Conference of Parties (COP) 26 pada 31 Oktober - 12 November 2021.
Anak – Anak Indonesia yang lahir selama setahun terakhir telah dan akan merasakan suhu 7,7 kali lebih panas dibanding yang dialami oleh kakek-nenek mereka. Tak hanya itu, anak – anak juga akan menghadapi 3,3 kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai serta 1,9 kali lebih banyak mengalami kekeringan.
“Dampak krisis iklim ini juga tentunya dirasakan lebih buruk pada anak – anak yang hidup dalam lingkaran kemiskinan, hal ini disebabkan karena mereka sudah lebih dulu terpapar risiko yang jauh lebih besar tentang keterbatasan air, kelaparan, dan bahkan terancam menghadapi kematian karena kekurangan gizi.” katas Selina Patta Sumbung, CEO Save the Children Indonesia, Sabtu 30 Oktober 2021.
Selain itu, dampak dari krisis iklim ini membuat jutaan anak dan keluarga masuk dalam kemiskinan jangka Panjang – di Indonesia anak – anak akan merasakan 3,2 kali lebih banyak gagal panen dan juga masih lemahnya akses terhadap skema perlindungan sosial.
Hal ini tergambarkan secara jelas pada laporan terbaru Save the Children secara global “Born Into the climate Crisis / Lahir di masa krisis iklim”, laporan ini menyerukan agar perlunya tindakan dan aksi yang harus dilakukan segera untuk melindungi hak – hak anak.
Secara Global, anak-anak yang lahir pada 2020 akan menghadapi 7% lebih banyak kebakaran hutan, 26% lebih banyak gagal panen, 31% lebih banyak kekeringan, 30% lebih banyak banjir sungai, dan 65% lebih banyak gelombang panas jika pemanasan global dihentikan pada 1,5°C.
Save the Children menekankan masih ada waktu untuk mengubah masa depan yang suram ini. Jika kenaikan dijaga hingga maksimum 1,5 derajat, beban antargenerasi pada bayi yang baru lahir berkurang 45% untuk gelombang panas; sebesar 39% untuk kekeringan; sebesar 38% untuk banjir sungai; sebesar 28% untuk gagal panen, dan sebesar 10% untuk kebakaran hutan.
“Anak – anak di Indonesia akan menjadi salah satu yang terkena dampak terburuk dari krisis iklim ini. Tanpa tindakan yang segera, kita akan menyerahkan masa depan yang suram dan mematikan pada anak – anak kita," tutur Selina.
Selain itu Selina juga menjelaskan Krisis iklim pada intinya juga adalah Krisis pada hak anak.
“Kita perlu melakukan hal sederhana dimulai dari diri sendiri dan keluarga, misalnya dengan menghapus ketergantungan kita pada bahan bakar fosil, memulai gaya hidup ramah lingkungan dan berpartisipasi aktif dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata dia.
Pemerintah juga harus mengembangkan tata kelola mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang inklusif dengan memperhatikan kebutuhan kelompok rentan seperti anak – anak melalui kebijakan, program, dan penganggaran yang berpihak kepada anak.