Trik & Kiat Adaptasi Hindari Kecemasan Saat Sekolah Tatap Muka
- VIVA.co.id/ Fajar Sodiq (Solo)
VIVA – Berdasarkan survey dari IPK, pembelajaran daring atau jarak jauh menimbulkan keluhan stres umum sebesar 23,9 persen dan 18,9 persen untuk keluhan kecemasan. Tentunya, kondisi ini patut mendapatkan perhatian khusus dari para orang tua, khususnya moms.
Menurut psikolog anak, self-growth dan parenting coach, Irma Gustiana A, orang tua harus melakukan langkah ADAPTASI kepada anak dalam mengatasi kecemasan atau masalah yang muncul. Apa itu? Amati, dengarkan, alihkan, pahami, tanyakan, apresiasi, sentuhan, dan ingatkan diri.
"Kecemasan itu bisa muncul karena beberapa hal, misalnya terlalu banyak informasi yang dikonsumsi, atau sebaliknya informasi yang dimiliki sedikit, atau memang punya riwayat kecemasan," ujar Irma, dalam Webinar Ruang Keluarga SoKlin Antisep, beberapa waktu lalu.
Dibeberkan Irma, orang tua harus dapat mengamati perilaku dan mendengarkan hal apa yang dibutuhkan serta diinginkan oleh anak. Itu sekaligus dapat mengalihkan anak dari gadget karena penggunaan perangkat teknologi tersebut mesti dibatasi dan diawasi.
"Selain itu, amati apakah dia sudah mengerti literasi protokol kesehatan tentang 5M. Kalau misalnya belum bisa dan belum mahir, berarti orang tua ada tanggung jawab untuk memberikan stimulasi atau latihan-latihan berkelanjutan setiap hari. Dan itu semua bisa dilakukan dengan role play atau ajak anak bermain peran," imbuh Irma.
Irma juga menegaskan bahwa anak membutuhkan apresiasi dan sentuhan (empati) dalam membangun hubungan emosional yang lebih kuat di dalam keluarga. Hal tersebut untuk memahami perasaan anak ketika sedang belajar secara blended.
"Apresiasi bisa dilakukan salah satunya dengan memberikan sentuhan. Sentuhan bisa mengaktivasi hormon bahagia anak. Bisa usap rambutnya, peluk badannya, itu sebetulnya yang anak-anak inginkan," imbuhnya.
Dalam proses pembelajaran jarak jauh dan tatap muka secara bergantian tersebut, anak bisa mengalami perasaan yang berubah-ubah. Maka dari itu, orang tua diharapkan mampu mengenali perasaan anak dengan bertanya secara langsung.
"Misalnya, anak-anak yang tadinya sebelum pandemi dan bisa belajar offline nilainya bagus-bagus dan selalu gembira. Lalu sekarang, dia sesekali murung dan belajarnya jadi acak-acakan. Orang tua harus memahami situasi tersebut. Jangan memberikan tekanan yang besar. Memahami ini bisa kita lakukan dengan bertanya kepada anak,” jelasnya.
Terakhir, para orang tua juga harus selalu ingat bahwa anak merupakan anugerah yang dititipkan oleh Tuhan, sehingga bagaimana situasinya, orang tua harus dapat membantu anak dalam berkembang, termasuk pembelajaran digital yang tergolong baru ini. Sebab, Irma percaya segala sesuatu yang baru perlu dilatih secara berulang kali agar terbiasa.
"Tidak ada yang bilang ini mudah. Ini sesuatu yang baru bagi kita. Tapi mudah-mudahan setelah satu setengah tahun pandemi, kita mulai terbiasa bagaimana caranya bantu mereka untuk sama-sama menjalani situasi dengan bahagia, sehingga ketika pandemi berakhir yang dia ingat adalah ingatan-ingatan positif tentang bagaimana orang tuanya mendampingi dia," terangnya.