Kekerasan Seksual Terhadap Anak Tidak Bisa Ditolerir

Ilustrasi kekerasan
Sumber :
  • pixabay

VIVA – Selama beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh viralnya berita perkosaan dan kekerasan seksual yang dialami oleh tiga kakak beradik yang diduga dilakukan oleh ayah kandungnya. Peristiwa ini terjadi di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pada 2019 lalu. 

Cagub Sulsel Danny Pomanto Optimis Menang Mengalahkan Adik Menteri Pertanian di Pilkada

Karena tidak menemukan cukup bukti, Polres Luwu Timur menghentikan proses penyelidikan pada tanggal 10 Desember 2019, persis dua bulan setelah kasus dilaporkan oleh ibu korban.

Atas kasus tersebut, Kantor Staf Presiden (KSP) menyampaikan keprihatinan mendalam atas terjadinya tindak perkosaan dan kekerasan seksual yang dialami oleh tiga kakak beradik berusia di bawah 10 tahun, yang diduga dilakukan oleh ayah kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. 

Polisi Bongkar 619 Kasus Judol sejak 5 November 2024, 734 Orang Ditetapkan Tersangka

Walaupun kasus telah berlangsung pada tahun 2019 lalu, dan penyelidikan telah dihentikan oleh Polres, KSP berharap agar Polri membuka ulang proses penyelidikan kasus tersebut. Peristiwa perkosaan dan kekerasan seksual kepada anak ini sangat melukai nurani dan rasa keadilan masyarakat. 

Presiden Jokowi sangat tegas dan tidak bisa mentolerir predator seksual anak. Karena itulah pada 7 Desember 2020 lalu, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

Sempat Alami KDRT Depan Anak, Istri Labrak Suami Sedang Selingkuh di Tempat Umum

Sebelumnya, dalam rapat terbatas tentang Penanganan Kasus Kekerasan kepada Anak tanggal 9 Januari 2000, Presiden Jokowi memberi arahan agar kasus kekerasan terhadap anak ditindaklanjuti secepat-cepatnya. Presiden Jokowi juga menginginkan agar pelaku kekerasan terhadap anak diberikan hukuman yang bisa membuatnya jera. 

"Terutama terkait dengan kasus pedofilia dan kekerasan seksual pada anak," tegas Presiden.

Deputi V KSP bidang Politik, Hukum, Hankam, HAM dan Antikorupsi serta Reformasi Birokrasi, Jaleswari Pramodhawardani, pun mengatakan, perkosaan dan kekerasan seksual terhadap anak merupakan tindakan yang sangat serius dan keji. 

"Tindakan tersebut tidak bisa diterima oleh akal budi dan nurani kemanusiaan kita. Terlebih lagi bila yang melakukan adalah ayah kandungnya. Oleh karen itu, pelakunya harus dihukum berat," ujarnya lewat rilis yang diterima VIVA, Jumat 8 Oktober 2021. 

"Walaupun anak-anak, suara korban harus kita dengarkan dan perhatikan dengan seksama. Termasuk suara ibu para korban. Bayangkan saja mereka adalah anak-anak kita sendiri," lanjut Jaleswari, yang juga berlatar belakang aktivis perempuan.

Oleh karena itu, menurut Jaleswari, jika memang ditemukan adanya kejanggalan dan kesalahan dalam proses penyelidikan oleh Polres Luwu Timur yang menyebabkan diberhentikannya proses penyelidikan pada akhir 2019 lalu, atau ditemukannya bukti baru sebagaimana disampaikan oleh ibu korban dan LBH Makassar, maka dia berharap KAPOLRI bisa memerintahkan jajarannya untuk membuka kembali kasus tersebut. 

"Kasus perkosaan dan kekerasan seksual pada anak serta penghentian penyelidikan dengan alasan tidak adanya bukti ini, semakin memperkuat urgensi pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mengandung norma khusus terkait tindak pidana kekerasan seksual," tandas Jaleswari Pramodhawardani.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya