Kerap Dibully, Anak Bibir Sumbing Alami Dampak Psikis Berat

Ilustrasi anak menangis
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Smile Train mencatat, terdapat 540 bayi di dunia dan 1 dari 700 bayi di Indonesia terlahir dengan kondisi sumbing atau celah langit-langit mulut. Jika tidak ditangani dengan segera, kondisi ini berpotensi memberi dampak pada fisik, tetapi juga dari segi psikis.

Budi Gunawan Kutip Piagam Madinah di Rakornas Pemerintah

Mirisnya, tidak jarang dari mereka yang menjadi korban bullying dan mengalami penolakan dari lingkungan terdekat. Hal ini berdampak pada terpuruknya rasa percaya diri anak. Bahkan tidak jarang anak tersebut merasa cemas dan menyerah terhadap masa depannya.

Psikolog Klinis, Sahabat Orang Tua & Anak (SOA) Parenting & Education Support Center, Hanlie Muliani, M.Psi, mengatakan, karena adanya perbedaan fisik, anak dengan bibir sumbing mengalami dampak psikis yang bisa berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

Moms, Begini Cara Mudah Mengukur Kemampuan Anak

"Misalnya merasa tidak seberuntung anak-anak lain, merasa diperlakukan tidak adil, hingga mengalami penolakan dari lingkungan sekitar berupa intimidasi, ejekan bahkan pengucilan," ujarnya saat media briefing 'Stop Bullying Bibir Sumbing', yang digelar Smile Train Indonesia secara virtual, Jumat, 10 September 2021.

Hanlie menambahkan, tak jarang kondisi ini justru karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai apa itu bibir sumbing dan bagaimana kita harus menyikapinya. Jika dibiarkan terus-menerus, anak dapat merasa minder, putus asa dan kecewa dengan kehidupannya.

Wanita 40 Tahun ke Atas Masih Ingin Punya Keturunan? Dokter Sarankan Bayi Tabung

Oleh karena itu, menurut Hanlie, tindakan operasi juga perlu disertai dengan penanganan komprehensif yang meliputi pendampingan psikologis, baik kepada pasien maupun keluarganya.

"Ajakan untuk 'Stop Bullying Bibir Sumbing!' adalah sesuatu yang baik dan perlu kita laksanakan secara konsisten," tegas dia.

Secara alami, kondisi bibir sumbing berpotensi membawa dampak fisik, seperti kesulitan bicara, makan, dan bernapas, sehingga penanganan sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Pada pendampingan psikologis, kata Hanlie, penting untuk ditanamkan bahwa harga diri manusia tidak hanya diukur melalui tampilan fisik, namun pikiran, hati, dan perbuatannya.

"Perundungan dari lingkungan sekitar, juga berpotensi membuat anak-anak dengan bibir sumbing merasa cemas akan masa depannya," tutur Hanlie.

Dalam kesempatan itu, Country Manager Smile Train Indonesia, Deasy Larasati, turut menceritakan pengalamannya ketika bertemu atau berinteraksi langsung dengan pasien bibir sumbing dan keluarganya.

"Kisah para pasien yang kerap mendapat perundungan atau pengucilan di lingkungannya selalu membuat kami tersentuh. Untuk itu, kami melihat pentingnya upaya nyata untuk meluruskan pola pikir ini, melalui edukasi kepada keluarga pasien dan masyarakat luas, serta dimulainya kampanye 'Stop Bullying Bibir Sumbing!" terang dia.

"Melalui kampanye ini, kami mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menghentikan segala bentuk bullying kepada mereka yang memiliki kondisi bibir sumbing dan atau celah langit-langit mulut. Mari kita sama-sama lindungi senyum dan kesehatan mental mereka, untuk memberikan mereka masa depan yang lebih cerah," pungkas Deasy Larasati.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya