Soal Vaksin Anak Mengandung Bahan Berbahaya, Dokter Sebut Itu Mitos

Ilustrasi vaksin.
Sumber :
  • Freepik/wirestock

VIVA – Tak sedikit orangtua yang menganggap bahwa anak tak perlu diberi imunisasi lantaran vaksin mengandung bahan berbahaya. Hal tersebut membuat sejumlah anak tak mendapat haknya untuk dilindungi dari berbagai macam penyakit yang berdampak bahaya.

Ini Cara Mengatasi Tantangan Imunisasi di Daerah dengan Akses Terbatas

Dituturkan Dokter Spesialis Anak RS Pondok Indah-Puri Indah, dr. Ellen Wijaya, Sp.A, orangtua kerap menuding vaksin mengandung zat berbahaya bagi anak sehingga memilih tak melakukan imunisasi. Padahal, anak yang tak diimunisasi bisa berakibat fatal seperti kelumpuhan bahkan kematian.

Dokter Ellen mencontohkan, adanya kandungan alumunium sebagai adjuvan di dalam vaksin anak, bermanfaat untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Selain itu, alumunium tersebut membuat kadar imunisasi yang diberikan pada anak tak terlalu banyak.

Pemerintah Kalimantan Timur Gandeng Malaysia Buat Kendalikan Dengue

"Sudah dipastikan bahwa konten dari imunisasi aman. Zat yang tertanam aman untuk proteksi," ujar Dokter Ellen dalam media gathering virtual bersama RSPI, baru-baru ini.

Selain bahan alumunium, banyak orang khawatir dengan kandungan merkuri di dalam vaksin. Lagi-lagi, dokter Ellen menegaskan bahwa jenis merkuri yang digunakan bukan yang berbahaya.

Cakupan Imunisasi BIAS hingga Awal Desember 2024 Belum Capai Target

"Yang terkandung adalah ethil merkuri sehingga tidak berbahya dan jumlah sangat rendah," ujarnya lagi.

Pun, kekhawatiran orangtua juga berimbas pada vaksin MMR yang dianggap memicu autis pada anak. Menurut dokter Ellen, tak ada korelasi antara keduanya dan perlu ditelaah lebih dalam oleh orangtua terkait perkembangan anak di usianya.

"Tidak ada korelasi antara vaksin dan autis. Kenapa disalahin? Vaksin MMR diberi antara umur anak 15-18 bulan. Fase itu orangtua mulai aware saat anak belum bisa bicara dan asyik sendiri. Periode itu juga memang waktunya pemberian vaksin MMR, akhirnya orangtua menyalahkan pemberiannya itu dari fase anak," jelasnya.

Dokter Ellen mengimbau bahwa pemberian imunisasi dasar, minimal bisa menjadi modal anak untuk melawan beragam penyakit, termasuk COVID-19. Apabila usia anak sudah terlewati, pemberian vaksin masih bisa diberikan sebagai bentuk stimulan.

"Berikan imunisasi yang terlewat sesuai usia. Berikan stimultan apabila kurang artinya dalam sekali ketemu bisa banyak diberikan vaksin. Kalau PCV udah enggak bisa dikejar di atas usia 5 tahun jadi sudah tidak perlu diberikan," terangnya.

Ada pun kondisi tertentu yang tak boleh menerima vaksin seperti anak dengan kanker darah dan tengah menjalani kemoterapi. Kondisi itu tak disarankan menerima vaksin dari jenis virus yang dilemahkan namun boleh untuk jenis virus yang dimatikan.

"Sama juga pasien HIV anak, polio oral enggak bisa karena mengandung virus yang dilemahkan. Kalau polio yang disuntik boleh karena virusnya sudah dimatikan," pungkas Ellen.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya