Pandemi COVID-19, Picu Banyak Anak Ingin Akhiri Hidup
- Pixabay/ wokandapix
VIVA – Pandemi COVID-19 diketahui berdampak bukan hanya pada kesehatan fisik saja, melainkan juga pada kesehatan mental anak. Bahkan selama pandemi ini, banyak anak-anak yang melukai dirinya sendiri atau self harm.
Hal ini diungkapkan oleh spesialis kejiwaan, dr. Anggia Hapsari, Sp.KJ (K), dia menyebut di tempatnya praktik selama 15 bulan terakhir banyak anak-anak yang melakukan self harm. Bukan hanya itu saja, di tempatnya praktik juga banyak anak-anak yang berpikiran untuk melakukan percobaan bunuh diri.
Lantas apa penyebab utama banyaknya kasus ini selama pandemi? Terkait hal itu, Anggia menjelaskan bahwa adanya keterbatasan selama pandemi membuat anak menjadi merasa kosong atau hampa (empty). Dari situ mulai muncul perasaan sakit hingga bertahap menuju percobaan self harming atau menyakiti diri sendiri.
"Kebanyakan anak-anak itu ingin sesuatu yang serba instan. Anak-anak generasi z mereka dalam segala hal ingin serba instan. Jadi dalam hal menyelesaikan masalah pun mereka ingin instan dalam hal emosi pun ingin instan. Jadi ketika mereka berhadapan dengan keterbatasan mereka tidak bisa ketemu teman, mereka enggak punya temen curhat, gak ada aktivitas itu membuat mereka menjadi merasa empty, sepi. Ketika merasakan empty mulai bertahap mereka merasa pain kalau mereka merasakan pain mereka melakukan percobaan self harming," kata Anggia dalam vitual conference, Kesehatan Mental Anak dan Remaja di Masa Pandemi RSPI, Selasa 29 Juni 2021.
Lebih lanjut, dijelaskan, Anggia ketika anak melakukan percobaan self harming dan merasa tidak cukup, anak kemudian menjadi frustasi dan bisa berujung pada pemikiran untuk mengakhiri hidupnya.
"Mereka melakukan percobaan self harming gak cukup mereka menjadi frustasi dan tindakan itu akan dilakukan berulang, berulang sampai mood mereka terpuruk dan sehingga akhirnya mereka ingin mengakhiri pain tersebut. dan pikiran pertama yang muncul di mereka cut, cut bukan tangannya tapi cut hidupnya, mengakhiri hidupnya," kata dia.
Anggia melanjutkan, ketika anak-anak ingin mengakhiri hidup mereka, akan muncul pikiran bahwa mereka hidup akan ada kehidupan lain.
"Ada beberapa kasus ketika mereka ingin mengakhiri hidup mereka berpikir 'yaudah idok, i can stop my life, yaudah dicut aja, because i don't like myself, i don't like my character. I want to be different character in my future life," kata Anggia.
Anggia menambahkan, "Kalau secara klinis kita lihat anak-anak tersebut depresi, ketika itu muncul gejala psikotik. tandanya marah dan halusinasi adanya suara-suara tanpa sumber karena depresi, adanya pikiran salah yang menyudutkan mereka, sehingga menguatkan pikiran mereka untuk bunuh diri," ungkap dia.
Lantas apa yang harus dilakukan oleh orang tua untuk mengatasi masalah tersebut? Dijelaskan oleh Anggia penting untuk orang tua menerima keadaan anak dan tidak menganggap remeh perasaan anak.
"Terima keadaan mereka, jangan menganggap remeh perasaan mereka, jangan terus kita berkata seperti 'ah kamu gitu aja kok enggak bisa sih, harus kuat dong, aduh jangan lebay deh'. ketika kita mengerti anak itu cara utama yang dilakukan kita menjadi container anak,"kata dia.
Selanjutnya, kata Anggia lakukan pendampingan tanpa adanya judgment. Serta memastikan bahwa anak-anak mereka tahu bahwa orang tuanya ada untuk mereka.
"Kemudian lakukan pendampingan tanpa adanya judgment, dan mereka harus tahu pasti ada orang tua yang ada buat mereka itu yang sering sekali menghambat mereka," kata Anggia.