KPPA: Pemberian Kental Manis Berpotensi Langgar Hak Anak

Ilustrasi kental manis.
Sumber :
  • Freepik/azerbaijan_stockers

VIVA – Pemberian makanan tidak bergizi kepada anak seperti susu kental manis berpotensi melanggar hak anak. Hal ini mengemuka dalam diskusi media yang diselenggarakan Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS), bertema Lingkaran Setan Gizi Buruk di Indonesia.

Gerak Cepat Pemerintah Cegah Stunting

Mendapatkan hak kesehatan dan terhindar dari stunting merupakan salah satu hak anak yang diratifikasi dalam konvensi hak anak tahun 1989.

Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kemen PPPA, Dr. Entos Zainal, SP, MPHM, menjelaskan isu kesehatan sangat memengaruhi bagaimana perkembangan anak dan remaja saat dewasa kelak.

Terobosan dalam Upaya Menekan Angka Stunting di Jakarta

"Isu kesehatan yang paling berpengaruh pada anak dan remaja adalah stunting, malnutrisi, anemia, penyakit tidak menular, kesehatan reproduksi, HIV/ AIDS, kekerasan, rokok dan narkoba," terangnya saat diskusi yang digelar pada Jumat 18 Juni 2021.

Di antara permasalahan di atas, Entos mengatakan, stunting masih menyisakan pekerjaan rumah yang berat, baik bagi pemerintah dan juga masyarakat. Sebab, Presiden Joko Widodo menargetkan penurunan stunting pada 2024 hingga 14 persen, sementara saat ini angka stunting masih berkisar 27 persen.

Intervensi Nutrisi Tingkatkan Kesehatan Anak yang Kekurangan Gizi

Demi mempercepat target penurunan prevalensi stunting tersebut, Kementerian PPPA mengajak seluruh elemen masyarakat ikut berperan mengkampanyekan ASI eksklusif sebagai bekal anak tumbuh dengan status gizi yang baik.

"Kita harus jaga betul agar susu kental manis tidak diberikan kepada bayi. Pemenuhan hak anak terlanggar bila susu kental manis terus diberikan sebagai minuman pengganti susu untuk anak," lanjut Entos.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Bidang Advokasi KOPMAS, R. Marni memaparkan temuan-temuan KOPMAS terkait permasalahan gizi anak selama 2020 - 2021.

"Permasalahan gizi anak dan remaja, jika ditarik benang merahnya, semua bersumber pada keluarga. Bagaimana kebiasaan makan anak, bagaimana gaya hidup anak saat remaja hingga dewasa, apakah anak-anak tumbuh dengan gizi yang cukup atau malah berisiko anemia, ini tergantung dari bagaimana perlakuan keluarga terhadap anak. Dengan kata lain, oran tua yaitu ibu dan bapak harus paham benar mengenai tumbuh kembang anak," jelas Marni.

Dalam temuan KOPMAS baru-baru ini, saat mengadvokasi gizi untuk masyarakat di Ciboleger dan Ciemes, Baduy, Jawa Barat. Marni mengungkap, bahkan masyarakat yang selama ini dikenal hidup dengan kearifan lokal, yang mengonsumsi makanan bersumber dari alam pun berisiko gizi buruk.

"Jika dulu masyarakat Baduy ini identik dengan hidup tanpa teknologi, sekarang mereka sudah akrab dengan gadget dan televisi. Dampaknya adalah, anak-anak Baduy yang biasanya makan singkong, sayur dan ikan-ikanan, kini terbiasa makan sosis, bakso, nugget dan pagi sarapan dengan sereal atau susu kental manis,” jelasnya.

Ia kemudian mengatakan, bahayanya adalah, orangtua tidak paham bahwa apa yang dimakan anak-anak mereka tidak sesehat menu dari ladang yang dahulu biasa mereka konsumsi.

"Ada hal positif dari mulai terbukanya mereka terhadap modernisasi, seperti bidan dan Puskesmas yang sudah bisa memberikan layanan kesehatan bahkan imunisasi. Tapi yang masih kami sayangkan adalah, pemeriksaan kesehatan ini masih minim edukasi gizi. Bahkan di Ciemes kami justru menemukan bidan yang tidak paham kandungan susu kental manis," sambung Marni.

Menanggapi hal itu, Dr. Wiwin Hendriani, M.Si. dari Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia (HIMPSI) mengatakan, persoalan kental manis masih menyisakan pekerjaan yang panjang bagi pemerintah.

"Iklan susu kental manis sebagai sumber gizi tunggal memang sudah dihapus, tapi bukan berarti dengan iklannya disetop, kebiasaan masyarakat langsung berbalik. Tidak mungkin seperti itu. Maka yang harus dilakukan adalah mengoreksi dengan informasi yang benar. Iklan yang salah harus diperbaiki dengan iklan yang menampilkan informasi yang benar," tegas Wiwin Hendriani.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya