Ketua IDAI: Stunting Pada Anak Bukan Sekadar Masalah Nutrisi

Ketua IDAI, Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.)
Sumber :
  • Dokumentasi Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.)

VIVA – Stunting masih menjadi masalah yang cukup serius di Indonesia. Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan angka prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi yakni 30 persen. 

Inovasi dan Adaptasi Teknologi Informasi Penting Bagi Program PKK

Stunting merupakan sebuah kondisi dimana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya. Penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal anak lahir yang biasanya tampak setelah anak berusia 2 tahun. 

Stunting memiliki dampak otak dan fisik anak sulit berkembang, kognitif, produktivitas dan kesehatan lebih rendah. Tetapi tidak semua anak yang berperawakan lebih pendek mengalami stunting.  
 
Penuntasan stunting pada anak sebagai suatu permasalahan multi-factorial, medis, sosial ekonomi, politik dan emosional. Stunting di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi prioritas pemerintah. Stunting didefinisikan oleh WHO sebagai tinggi badan di bawah 2 standar deviasi di bawah median tinggi badan menurut usia. 

Empowering Communities and Technology to End Stunting in Indonesia

Pada tahun 2013, UNICEF menerbitkan laporan “Improving Child Nutrition”, yang menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-5 untuk jumlah anak dengan moderate atau severe stunting. Hasil data tersebut dihitung berdasarkan kurva standar WHO sehingga mungkin menyebabkan overestimation angka stunting karena rerata tinggi badan yang tidak representatif terhadap suatu populasi. Ketika pengukuran ulang data Riskesdas menggunakan kurva nasional, angka stunting jauh berkurang. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemilihan kurva referensi untuk memantau pertumbuhan anak-anak di populasi juga faktor yang penting. 
 
Melihat masih tingginya angka dan permasalahan  stunting yang ada di Indonesia, Inilah yang mendasari Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) yang telah dikukuhkan sebagai Guru Besar ke-16 Ilmu Kesehatan Anak FKUI pada kegiatan Sidang Terbuka dan Upacara Pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) 2021 yang dilakukan secara daring, dengan memberikan pidato pengukuhan yang berjudul  ‘Penuntasan Stunting pada Anak sebagai suatu permasalahan Multi-Faktorial : Medis, Sosial, Ekonomi, Politik dan Emosional’. 

Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI, (Hon.) terus berkomitmen dan berkontribusi dalam menangani permasalahan stunting dengan terus melakukan penelitian di sejumlah daerah di Indonesia. 
 
Lebih dekat, masalah stunting harus dilihat secara komprehensif, menelaah dari berbagai faktor yang bisa memengaruhinya, termasuk standar pengukuran yang digunakan.  

Kunjungan ke Jayawijaya, Wamendagri Ribka Ingatkan Bahaya Stunting bagi Anak-Anak

"Stunting erat dikaitkan dengan masalah nutrisi, tetapi hubungan antara nutrisi dan pertumbuhan linear masih diperdebatkan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa intervensi berupa peningkatan asupan gizi tidak dapat memperbaiki pertumbuhan linear secara bermakna," ujar dr Aman.

Penelitan yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat menunjukkan pemberian makanan tambahan kepada anak stunted tidak menghasilkan kenaikan berat badan dan tinggi badan yang signifikan. Sedangkan, Penelitian di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan Bali menunjukkan tidak ada hubungannya ketebalan lipat lemak kulit (indikator nutrisi) dengan tinggi badan. 

Oleh karena itu, penyebab perawakan pendek anak-anak ini mungkin disebabkan oleh hal lain. Penggunaan stunting sebagai indikator status gizi dapat mengalihkan perhatian dari masalah lingkungan dan sosial yang memiliki dampak besar terhadap pertumbuhan anak karena diskusi mengenai stunting terlalu dititikberatkan pada masalah gizi. Para ahli mengemukakan pemikiran bahwa masalah stunting bukan hanya nutrisi, tetapi juga masalah sosial, ekonomi, politik, dan emosional.  

Kesenjangan sosial dan kurangnya kesempatan mobilisasi sosial di suatu populasi diduga lebih berkontribusi pada pendeknya tinggi badan. Studi tentang pertumbuhan anak balita Korea Utara dan Korea Selatan pada tahun 2009 menunjukkan bahwa anak balita di Korea Selatan lebih tinggi 6-7 cm dibandingkan Korea Utara. Populasi Jerman Timur juga lebih pendek jika dibandingkan populasi Jerman Barat sebelum Tembok Berlin diruntuhkan.  

Faktor genetik juga diprediksi menjadi salah satu yang mempengaruhi tinggi badan,  melalui Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI(Hon.) di Rampasasa, Flores menjelaskan, “Populasi yang lebih pendek dari rerata nasional. Lelaki dewasa pada kelompok pigmoid Rampasasa mempunyai tinggi badan di bawah 150 cm, sedangkan tinggi badan perempuan dewasa di bawah 140 cm."

Penelitian ini menunjukkan bahwa populasi pigmoid tidak mengalami malnutrisi, sehingga perawakan pendek mereka tidak termasuk stunting. Penggunaan kurva pertumbuhan yang tidak tepat dapat menyebabkan over-diagnosis stunting dan underweight, terutama pada populasi Asia, yang secara umum dianggap lebih pendek dan lebih rendah berat badannya dibandingkan populasi di Eropa dan Amerika. 

"Tingginya angka stunting di Indonesia dan perhatian pemerintah serta alokasi dana yang tinggi menunjukkan pentingnya akurasi dalam pengukuran pertumbuhan anak," ujar Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan.
 
Ditambahkannya, ”Berdasarkan berbagai penelitian, dalam mengatasi stunting dan meningkatkan kesehatan anak Indonesia perlu melihat faktor sosial, ekonomi, politik, dan emosional. Pencegahan dan deteksi dini sangat penting dalam manajemen gangguan pertumbuhan seperti stunting,sehingga sistem yang sudah berjalan di Indonesia berpotensi untuk ditingkatkan, misalnya penggunaan buku KIA dan pemanfaatan Posyandu. 
Dalam mendukung perkembangan digitalisasi dan mempermudah akses layanan kesehatan di daerah rural Indonesia, kehadiran smartphone dapat dimanfaatkan untuk kesehatan anak, misalnya penggunaan aplikasi seperti PrimaKu. 

"Aplikasi pemantauan pertumbuhan anak dapat membantu orangtua dalam upaya deteksi dini jika anaknya mengalami gangguan pertumbuhan," tutup  Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan lewat rilis yang diterima VIVA.

Sebagai informasi, Prof. Dr. dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI (Hon.) aktif bekerja sebagai Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) serta Anggota Majelis Dokter Spesialis Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Selain aktif dalam kegiatan nasional, sejak tahun 2018 hingga kini beliau menjabat sebagai President of Asia Pacific Pediatric  
Association (APPA). Pada tahun 2010-2012, Prof Aman menjabat sebagai President of Asia Pacific Pedriatric.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya