KPAI Sebut Belajar dari Rumah Bikin Siswa Kelelahan Hingga Stres
- dok. pixabay
VIVA –Metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah dinilai tidak efektif. Hal ini diungkapkan oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti.
Menurut dia, selama kebijakan belajar dari rumah diterapkan, mulai dari 16 Maret - 5 Mei 2020, KPAI menerima 76,56 persen pengaduan bidang pendidikan terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pengaduan 97 persen di antaranya dilakukan oleh siswa sendiri, sementara 3 persen lainnya dilakukan oleh orangtua siswa.
Tingginya angka pengaduan PJJ di bidang pendidikan mendorong KPAI mengadakan survei PJJ dengan responden siswa dan guru pada 13 - 21 April 2020, yang meliputi 20 provinsi dan 54 kabupaten atau kota.
Survei menggunakan metode deskriptif kualitatif dan dilaksanakan dengan teknik multistage random sampling. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan kuisioner yang diberikan menggunakan aplikasi Google Forms kepada 246 pengadu KPAI sebagai responden utama, 1.700 siswa responden pembanding, dan 602 responden guru.
"Hasilnya dampak secara psikis dan fisik, PJJ membuat siswa kelelahan, kurang istirahat, dan stres," ujar Retno saat webinar mengenai dampak sosial ekonomi COVID-19 pada anak-anak di Indonesia, Senin 11 Mei 2020.
Lebih lanjut Retno menjelaskan, sebanyak 79,9 persen responden menyatakan tidak ada interaksi sama sekali kecuali memberikan tugas dan menagih tugas saja, tanpa ada interaksi belajar seperti tanya jawab langsung atau aktivitas guru menjelaskan materi.
"Ini yang memicu anak kelelahan dan kebingungan mengerjakannya karena tidak ada interaksi. 73,2 persen guru hanya memberikan tugas dan tidak ada interaksi. Karena guru beralasan, anak tidak memiliki internet cukup," lanjut dia.
Hasil yang tak kalah mengejutkan adalah, 76,7 persen siswa menyatakan tidak senang belajar di rumah. Selain itu, baik guru dan siswa, sama-sama memiliki keterbatasan peralatan daring dan kuota internet. Kebanyakan siswa bahkan hanya mampu memantau pembelajaran dari smartphone karena tidak memiliki laptop.
"Anak-anak stres mereka berjuang untuk mengerjakan tugas hanya karena ingin mengejar nilai, bukan karena suka," tutur Retno.