Dampak Buruk Paksakan Anak Ambil Jurusan yang Tidak Sesuai Minat

Ilustrasi kuliah.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Semua orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, termasuk dalam hal pendidikan. Namun, terkadang ada beberapa orangtua yang terlalu khawatir dengan masa depan anaknya, sehingga ikut campur memilihkan, bahkan memaksakan jurusan pendidikan tertentu, karena menganggap itu baik untuk anak.

IDI Kabupaten Jepara Berikan Informasi Pengobatan bagi Gangguan ADHD Pada Anak

Padahal tidak sesederhana itu. Memaksakan anak mengambil jurusan pendidikan tertentu yang tidak disukai atau tidak sesuai minat, justru dapat membawa dampak buruk untuk anak. Meski anak memiliki kemampuan akademis, namun mengerjakan sesuatu yang tidak sesuai kemauan akan menghambat pendidikan anak yang bersangkutan.

Ditemui saat peluncuran Tes Bakat Minat AJT, psikolog anak, Diana Lie menjelaskan, meski anak cerdas dan memiliki kemampuan lebih di bidang akademis, jika anak tidak merasa enjoy, hal ini bisa menimbulkan masalah di kemudian hari.

Pernah Dilarang KB oleh Edwrad Akbar, Kimberly Ryder Kasih Pesan Ini Buat Para Wanita

"Dampak lainnya adalah masalah waktu. Kalau anaknya mampu dan bisa adaptasi untuk survive di daerah yang bukan areanya, mungkin dia akan lanjutin sampai selesai. Tapi kalau seandainya terjadi konflik, tidak sesuai dengan kemampuan dia atau bentur dengan minatnya, salah satu masalahnya adalah waktu. Waktunya pasti akan habis, jadi waktu yang digunakan untuk eksplorasi tidak efisien," ujarnya di Hotel Mercure, Jakarta Selatan, Rabu, 5 Februari 2020.

Berada di tempat yang sama, CEO PT Melintas Cakrawala Indonesia, Ari Kunwidodo, berbagi pengalaman tentang orangtua dan anak yang memiliki pengalaman serupa.

Mengenal Hernia Inguinal Umum Terjadi pada Bayi Laki-laki, Tak Bisa Sembuh Sendiri Perlu Tindakan Operasi

"Nih ada anak di SMA nilainya bagus terus. Dia juara, nilai akademiknya bagus. Kemudian orangtuanya bilang, 'Wah kamu nih pinter. Masuk kedokteran aja.' Akhirnya si anak masuk kedokteran. Apa yang terjadi? Di kedokteran dia drop out," cerita Ari.

Setelah dianalisis lebih jauh, pada fakultas kedokteran, skill atau otot kognitif yang harus kuat adalah memori. Karena apa yang dipelajari saat ini, harus melekat terus-menerus untuk dipraktikkan ketika ia sudah menjadi dokter.

"Anak ini kenapa survive, bahkan jadi juara di sekolah, karena kalau besok ulangan, malemnya dia pelajari untuk besok, setelah itu dia lupa lagi. Tapi dia akan begitu terus. Dalam artian bahwa dia menstrategikan belajar dia itu untuk mengejar besok ulangan,”katanya.

“Tapi problem-nya adalah dia enggak bisa nyimpan. Jadi, begitu dia masuk di kedokteran, di mana knowledge harus tersimpan dan akan dipakai, enggak ngejar dia, dia failed," tambahnya,

Dari sini, bisa diambil kesimpulan bahwa hasil akademik itu yang terlihat di permukaan. Sebenarnya, yang utama adalah otot kognitif apa yang mendominasi anak tersebut.

"Kalau ternyata itu ter-reflect, berarti memang dia capable untuk bisa lakukan. Tapi kalau enggak, ini akan jadi kendala dia ke depannya. Jadi, sebenarnya pemilihan jurusan tidak se-simple itu," kata dia.

Meski anak memiliki kemampuan namun tidak menyukai bidang tersebut, anak akan tertekan karena minatnya tidak di sana. Jika dipaksakan, dampaknya tidak baik untuk anak dan akan semakin merasa tertekan.

"Jadi itu menjadi menarik kalau kita lihat dimensi pilihan antara potensi dan minat. Walaupun potensinya ada tapi minatnya enggak ada, kalau dipaksakan ya akan jadi challenge juga," tutur Ari.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya