Cegah Tindakan Kekerasan dengan Ciptakan Kebahagiaan Anak di Rumah
- Pixabay/ wokandapix
VIVA – Audrey, nama yang membawa kenangan banyak orang pada sebuah kasus kekerasan anak yang viral di media sosial. Remaja yang duduk di bangku SMP itu ramai menjadi perbincangan karena menjadi korban pengeroyokan yang dilakukan belasan remaja. Siswa asal Pontianak, Kalimantan Barat, itu pun harus terbaring di rumah sakit karena menderita luka-luka.
Belum juga kasus Audrey mereda, muncul lagi kasus kekerasan serupa. Videonya bahkan beredar luas di dunia maya. Dalam video, tampak seorang anak berseragam SMP mendorong, menjambak, hingga menendang seorang anak lainnya. Sementara, teman-temannya yang lain hanya menonton saja.
Itu hanya dua contoh saja dari sekian banyak kasus kekerasan anak berupa perundungan yang terjadi di Indonesia. Setiap satu kasus mereda, tak butuh waktu lama, kasus lain terkuak. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Siswa berinisial YSS diduga mengakhiri hidupnya karena menjadi korban perundungan. Ia diejek teman-temannya karena kasus pembunuhan yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya.
Sebelum gantung diri di sebuah rumah kosong, YSS sempat menulis ungkapan hatinya dalam sebuah buku. Ia meminta maaf pada keluarga dan bibinya yang telah mengasuhnya sejak ibunya meninggal. Ia juga mengungkapkan keluhan kerap menjadi bahan olok-olok temannya sebagai keturunan pembunuh dan anak tukang cor. Lantas, ia menuliskan janji akan menghabisi ayahnya sendiri yang mendekam di penjara.
Begitu banyak korban yang sudah berjatuhan, begitu banyak pula pelaku yang mendapat sanksi. Tapi, kasus kekerasan anak tak juga berhenti. Mirisnya, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bullying dan kekerasan fisik mendominasi tren kasus kekerasan anak sepanjang Januari-April 2019. Dari data pengaduan KPAI, terdapat 37 laporan pelanggaran hak anak di bidang pendidikan yang didominasi perundungan, berupa kekerasan fisik, psikis, dan kekerasan seksual.
Kekerasan yang menimpa anak, baik sebagai korban maupun pelaku, tentu membuat pilu hati orangtua. Sayangnya, banyak yang tak menyadari bahwa orangtualah kunci dari pencegahan tindakan kekerasan itu. Bagaimana anak-anak berperilaku dan bergaul dalam lingkungan sosial ditentukan dari bagaimana pola asuh orangtua di rumah.
Energi Positif untuk Anak Bahagia
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak KPPPA Lenny Rosalin mengatakan, kunci pencegahan itu ada pada komunikasi antara orangtua dan anak. Hal ini yang kini kian tergerus dengan hadirnya teknologi berupa gawai. Anak-anak, termasuk orangtua sendiri, lebih senang menghabiskan waktu menatap layar ponsel dibanding saling menatap wajah anak-anak dan berbicara.
“Coba sediakan waktu pas makan malam, salat berjamaah bersama, hal-hal positif bangunkan lagi seperti dulu sebelum kita punya HP,” kata Lenny saat ditemui VIVA.co.id di Gedung KPPPA, Jakarta.
Saran senada juga diungkapkan pemerhati anak dan psikolog Seto Mulyadi. Agar orangtua dan anak bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama dan jauh dari gawai, pria yang akrab dengan sapaan Kak Seto itu menyarankan untuk menggunakan trik yang disebut dengan Gerakan 3B. Orangtua bisa mulai menerapkan gerakan ini pada pukul 18.00-21.00 WIB.
“Bisa beribadah, bercerita, belajar bersama, atau bergembira bersama keluarga, yang terpenting ada kebersamaan dan matikan TV,” kata Kak Seto.
Selain kedua cara itu, Lenny juga menganjurkan agar anak-anak kembali diperkenalkan dengan permainan tradisional. Sudah terbukti bahwa permainan tradisional mampu menjauhkan anak dari gawai. Selain itu, anak juga menjadi lebih sehat secara fisik karena dituntut untuk banyak bergerak. Nilai lebih lainnya, anak-anak jadi bisa bersosialisasi, saling mengenal dengan teman baru, dan saling berbagi.
Namun, hal mendasar yang paling penting adalah menciptakan kebahagiaan pada anak-anak. Seringkali hal ini yang banyak dilupakan, terutama bagi orangtua pekerja yang sibuk. Ingatlah bahwa memberikan kebahagiaan pada anak bukan dari seberapa banyak materi yang bisa orangtua berikan, tapi seberapa besar orangtua menunjukkan kasih sayang dan cinta pada mereka.
Psikolog Elizabeth Santosa mengatakan, menunjukkan kasih sayang bisa dilakukan dengan cara sangat mudah yaitu menebar energi positif dengan senyuman. Dengan menumbuhkan emosi yang positif di rumah, anak-anak bisa merasa selalu bahagia. Kemudian, mulailah membangun kebiasaan yang menumbuhkan energi positif ini dengan saling berbagi cerita positif setiap hari.
Orangtua bisa mengawalinya dengan menceritakan hal yang positif yang dilaluinya hari itu. Dengan begitu, kebiasaan ini akan mendorong anak menceritakan juga hal positif yang dialaminya. Menurut Elizabeth, anak yang bahagia akan membawa energi positif di manapun dia berada.
“Anak-anak yang bahagia akan memiliki kesadaran diri, manajemen, dan keterampilan sosial yang baik. Anak yang bahagia juga memiliki kemampuan pengambilan keputusan yang lebih baik,” kata Elizabeth.
Anak-anak yang memiliki karakter seperti ini tentunya akan sedikit kemungkinannya terlibat dan tindak kekerasan. Dampak lebih besarnya, perilaku kasar dan menyakiti tidak akan muncul pada mereka.