Penting, Ini 3 Kriteria Bully pada Anak
- Pixabay/Gerd Altmann
VIVA – Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Mei 2018 menemukan sebanyak 358 kasus bully atau perundungan terjadi pada anak. Terlebih, pelaku kasus bully tersebut angkanya lebih banyak dibandingkan yang menjadi korban.
Dari data yang sama, sebesar 25,5 persen anak tercatat sebagai pelaku bully. Sementara, sebesar 22,4 persen anak yang menjadi korban bully tersebut. Hal ini perlu menjadi perhatian besar khususnya para orang tua agar mampu mencegah kasus perundungan tersebut.
Meski begitu, banyak orang tua yang belum mampu membedakan saat anaknya terlibat bully atau konflik. Perbedaan antar kedua hal ini sering dianggap sepele sehingga banyak orang tua yang salah paham.
"Seringnya anak hanya cerita ke orang tua ujungnya saja. Misal, aku dipukul lalu selesai dan orang tua anggap itu adalah bully. Padahal seharusnya orangtua konfirmasi dulu seperti apa ceritanya sejak awal," ujar Psikolog Jane Cindy M.Psi., dalam temu media Rumah Sakit Pondok Indah di kawasan Blok M, Jakarta, Kamis 18 Juli 2019.
Saat orang tua sudah mendengar cerita anak secara keseluruhan, maka ada tiga poin penting yang bisa dikelompokkan sebagai bully yakni adanya niat menyakiti, ketidakseimbangan kekuatan fisik, dan dilakukan berulang dengan jarak berdekatan.
"Kalau anak ada di dalam konflik, biasanya kekuatan antar keduanya imbang dan tidak dilakukan secara berulang dalam jarak berdekatan," jelasnya.
Jika memang anak terlibat dalam kasus bully, maka orangtua perlu memberitahukan pada pihak sekolah jika memang hal tersebut terjadi di sekolah. Selain itu, ajari anak untuk melakukan pertahanan saat mendapat kekerasan fisik dari pelaku bully.
"Pertama tentu lapor guru. Kedua, ajari anak untuk menahan saat dia dipukul bukan dengan memukul balik," kata dia.(nsa)