5 Situasi yang Picu Anak Jadi Pelaku Bullying
- Pixabay/Gerd Altmann
VIVA – Penganiayaan yang dialami remaja asal Pontianak, AU, membuat siapa saja merasa geram. Rasanya sulit membayangkan perlakuan tidak manusiawi itu dilakukan oleh para remaja juga.
Mirisnya, para pelaku tidak menunjukkan rasa bersalah, bahkan penyesalan atas perbuatan mereka yang di luar batas. Dari kasus ini kita bisa belajar bahwa perhatian tak hanya fokus pada korban tapi juga pada para pelakunya. Apa penyebab mereka bisa melakukan tindakan di luar batas dan bagaimana orangtua menyikapi jika anak mereka menjadi pelaku bullying?
Memang tidak ada satu profil khusus yang menandakan seorang anak adalah pelaku bullying. Namun, dikutip dari laman Huffington Post, pakar perilaku manusia, parenting dan pendidikan Dr. Gail Gross, PhD, Ed.D, M.Ed mengungkapkan, ada lima kondisi yang bisa memicu anak melakukan bullying.
1. Meniru orangtua
Anak-anak adalah model dari apa yang mereka lihat. Jika anak menjadi korban bullying orangtuanya sendiri atau mengalami kekerasan dan diperlakukan tidak baik di rumahnya, anak itu kemungkinan besar akan meniru perilaku tersebut di sekolah. Mereka belajar dari orangtua mereka bahwa perilaku tersebut dibolehkan.
2. Tidak berdaya
Terkadang, anak yang mem-bully adalah anak yang merasa sama sekali tidak berdaya di rumah. Mungkin anak itu diperlakukan dengan kasar atau melihat salah satu orangtuanya kasar pada orangtua satunya, hal itu membuat anak merasa takut dan tidak berdaya di rumah. Anak ini kemudian mencoba mendapatkan kembali kekuatannya dengan mem-bully teman-temannya di sekolah.
3. Terlupakan
Anak yang merasa tidak diperhatikan di rumah seringkali bertingkah atau berperilaku seperti punya kuasa di sekolah. Anak-anak butuh kasih sayang dan perhatian yang terus menerus dari orang-orang dewasa yang mengasuhnya, dan mereka paling menginginkan dan membutuhkan itu dari ayah dan ibunya.
Tidak ada seorang pun yang lebih penting dari ayah dan ibu, anak akan terus berusaha mendapat persetujuan dari kedua orangtuanya sejak lahir hingga mereka meninggal. Jika mereka tidak mendapat cinta dan kasih sayang di rumah, mereka akan merasa tidak memiliki suara dan tidak penting. Perasaan tidak dianggap bisa berubah menjadi kemarahan, kebencian, lalu menjadi pemicu bullying di sekolah.
4. Terlalu dimanja
Lalu, ada pula anak yang diberikan terlalu banyak kuasa. Mereka mendapat segala yang mereka inginkan, dibesarkan tanpa batasan dan aturan yang harus diikuti, yang kemudian anak itu tumbuh dengan perasaan punya segalanya dan penuh kuasa. Anak-anak punya keyakinan mereka punya hak untuk mem-bully orang lain di sekolah karena mereka bisa memaksa orangtua mereka di rumah.
5. Kurang berempati
Jangan kaget, ada anak-anak yang meski hidup dalam keluarga penuh cinta dan orangtua yang perhatian bisa menjadi pelaku bullying. Sebabnya, anak-anak ini mungkin tidak memiliki rasa empati, suka mendominasi, posesif, dan menginginkan kekuasaan. Hal baik yang bisa dipetik dari hal ini adalah empati adalah sesuatu yang bisa diajarkan.
Bagaimana pun, penting untuk diingat bahwa anak-anak yang mem-bully tetaplah anak-anak. Mereka berperilaku seperti itu karena ada penyebabnya dan mereka juga butuh bantuan serta panduan dari orang dewasa.
Menurut Gross, pelaku bullying mungkin tidak memiliki perilaku sosial yang sehat, empati, dan keterampilan mengatasi masalah. Hal itu bisa memicu timbulnya masalah dalam berhubungan, pengasuhan secara umum, bahkan masalah dengan hukum. (ldp)