Pernikahan Dini Renggut Nyawa dan Hak Anak

Pernikahan dini/anak.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Lebih dari satu abad Kartini menuangkan keresahannya terkait perkawinan anak. Hingga saat ini, angka perkawinan anak di Indonesia masih cukup tinggi.

Bahkan, menurut laporan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) berjudul "State Of The Children" yang diterbitkan pada tahun 2016, Indonesia menempati negara nomor tujuh di dunia untuk tingkat perkawinan anak tertinggi. Di kawasan Asia Tenggara sendiri, Indonesia menduduki peringkat kedua untuk kategori yang sama.

Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012, sekitar 17 persen perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Hal ini berarti 340 ribu perkawinan di Indonesia terjadi pada anak perempuan berusia di bawah 18 tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa angka ini meningkat dari 23 persen pada tahun 2015 menjadi 25,71 persen pada tahun 2017.

Tingginya angka perkawinan anak ternyata juga berkontribusi terhadap tingginya angka kematian ibu. Dengan kata lain, setiap angka perkawinan anak akan merenggut hak hidup ibu muda yang meninggal akibat melahirkan, dan anak yang dilahirkannya.

Sementara itu, Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Eni Gustina mengatakan bahwa dalam Riset Kesehatan Dasar 2013 tercatat 5,9 persen dari angka kematian ibu terjadi di bawah usia 18 tahun dan 25 persen meninggal di atas 35 tahun. Namun, setelah dianalisis lebih jauh, lanjut Eni, mereka yang meninggal di atas 35 tahun lebih dari separuhnya telah menikah di bawah usia 20 tahun.

Dalam laporan BPS dan UNICEF yang berjudul Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia, menyebutkan bahwa anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun.

Sementara secara global, kematian yang disebabkan oleh kehamilan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan usia 15-19 tahun.

Berujung Kematian

Thariq Halilintar Dikabarkan Mau Nikah, Atta Halilintar: Dia Emang Pengin Cepet

Eni menjelaskan, secara anatomi usia anak merupakan periode pertumbuhan. Secara khusus, Eni menyebut bahwa pada usia di bawah 18 tahun, rahim seorang anak belum siap untuk ditempati calon bayi atau janin, sehingga perempuan yang hamil di bawah usia 18 tahun akan rentan mengalami risiko kesehatan yang berujung kematian.

Anak perempuan yang menikah dini dan hamil juga menghadapi menghadapi risiko tingkat komplikasi yang terkait dengan persalinan yang jauh lebih tinggi, seperti fistula obstetri, infeksi, perdarahan hebat, anemia dan eklampsia.

Perhatikan! Ini 6 Dampak Negatif Pernikahan Dini yang Harus Diwaspadai

“Yang paling banyak perdarahan, termasuk pada ibu muda karena kondisinya belum siap, otot rahim masih tipis, anemianya juga tinggi. Kalau anemia, dan ada janin di dalamnya, dia butuh makan. Dia  makan lewat plasenta ibu. Kalau tidak cukup, makanya kaki plasenta akan menancap lebih dalam, itu mekanisme alamiah,” kata Eni.

Ia melanjutkan, ketika kaki plasenta menancap lebih dalam, otomatis akan menyebabkan robekan yang lebih dalam. Hal ini kemudian berujung pada perdarahan pada saat melahirkan. Hingga saat ini, 35 persen kematian pada ibu disebabkan oleh perdarahan.

Pernikahan Dini di Jombang Capai 1.225 Kasus, Rata-rata karena Hamil Duluan

“Kemudian pertumbuhan tulang-tulang ini juga baru akan berhenti setelah 23 tahun, artinya ketika orang hamil dan masih dalam masa pertumbuhan, makanan yang masuk ke dalam tubuh dibagi dua, untuk ibunya dan juga janin,” katanya.

Sehingga hal ini akan menyebabkan bayi yang dilahirkan memiliki berat badan lahir rendah. Hal tersebut juga diperkuat dengan kajian yang menunjukkan bahwa perkawinan usia anak di Indonesia berhubungan dengan buruknya kesehatan reproduksi dan kurangnya kesadaran anak perempuan terhadap risiko persalinan dini.

Di samping risiko kematian yang terus membayangi perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun, perkawinan anak juga turut mengancam berbagai hak anak. Menurut Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Dra. Leny Nurhayanti Rosalin, perkawinan anak juga berdampak terhadap hak anak untuk mengakses pendidikan, mengancam ekonomi dan bisa berujung pada kasus kekerasan dalam rumah tangga.

“Anak yang menikah langsung drop out dari sekolah, angka partisipasi turun, kemudian wajib belajar 12 tahun tidak tercapai. Bahkan wajib belajar 9 tahun pun tidak tercapai kalau mereka menikah di usia 12 atau 13 tahun,” kata Lenny.

Hal ini disebabkan perkawinan dan pendidikan dianggap bertentangan ketika anak perempuan yang menikah menghadapi keterbatasan mobilitas, kehamilan dan tanggung jawab terhadap perawatan anak.

Menurut salah satu laporan, 85 persen anak perempuan di Indonesia mengakhiri pendidikan mereka setelah mereka menikah, namun keputusan untuk menikah dan mengakhiri pendidikan juga dapat diakibatkan kurangnya kesempatan kerja. Hal ini juga berkontribusi pada sulitnya mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak, justru semakin memperpanjang rantai kemiskinan.

“Kemudian ke ekonomi, berartii dia harus jadi  pekerja, muncul isu pekerjaan. Kalau lulus SD misalnya, muncul upah rendah, hanya pekerjaan di informal tidak memperolah jaminan sosial upah rendah dan ini menjadi faktor kemiskinan,” katanya.

Sayangnya, meski dalam Undang–undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014, disebutkan bahwa usia anak mencapai usia 18 tahun, Undang–undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 sendiri masih melegalkan perkawinan anak perempuan di usia 16 tahun.

Upaya sejumlah pihak untuk melakukan judicial review untuk menaikkan umur perkawinan juga selalu terganjal. Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang diajukan oleh sejumlah aktivis perempuan dan konon telah disetuji Presiden Joko Widodo pada April 2018 lalu, hingga kini juga tidak terdengar lagi gaungnya dan tertutup hiruk pikuk kampanye untuk pemilihan presiden 2019 mendatang. (rna)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya