Hamil di Usia Dini Berisiko Lahirkan Anak Stunting

Ilustrasi hamil.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Semakin muda usia calon ibu maka semakin besar risiko terjadinya kondisi kurang energi kronis (KEK), yang pada akhirnya mampu meningkatkan risiko melahirkan anak yang menderita stunting.

Tertarik Lakukan Inseminasi? Perhatikan Hal Ini

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI, Dr. Siswanto, MHP, DTM, menyatakan bahwa dibutuhkan penguatan edukasi dalam hal kesehatan remaja terkait pandangan mereka terhadap penampilan yang membawa dampak besar bagi kesehatan.

"Remaja putri di Indonesia masih ada yang memiliki pandangan bahwa mengenai body image yang kurus dan kecil seperti pensil itu dianggap cantik. Remaja putri perlu menyadari bahwa persiapan hamil itu butuh kecukupan gizi," ujar Siswanto dikutip dari siaran pers Kemenkes RI, Jumat, 23 November 2018.

Inovasi dan Adaptasi Teknologi Informasi Penting Bagi Program PKK

Menurutnya, pandangan tersebut sangat penting untuk diluruskan, mengingat remaja putri merupakan calon ibu di masa depan.

Seorang ibu hamil bila kondisinya kurang energi kronis (KEK) akan membawa dampak bagi janin yang sedang dikandungnya, karena dapat berpeluang bayinya lahir kurang dari 2,5 kilogram yang sering disebut berat bayi lahir rendah (BBLR) atau panjang badan saat lahir kurang dari 48 sentimeter.

Empowering Communities and Technology to End Stunting in Indonesia

“Ibu hamil yang KEK (kurang energi kronis), merupakan calon produsen anak stunting. Karena kalau ibunya kurang energi, anaknya lahir BBLR atau pendek,” imbuh Siswanto.

Adapun, Riskesdas 2018 menemukan hasil yang cukup baik, karena berhasil memotret penurunan angka KEK pada wanita usia subur (WUS). Riskesdas 2013 lalu mencatat WUS KEK hamil sebesar 24,2 persen dan WUS KEK tidak hamil sebesar 20,8 persen.

Sementara Riskesdas 2018 mencatat WUS KEK hamil sebesar 17,3 persen dan WUS KEK tidak hamil 14,5 persen.

Namun, adanya anggapan yang salah pada remaja mengenai ukuran kecantikan yang diidentikkan dengan badan kurus, menjadi tantangan besar dalam upaya pencegahan stunting.

Belum lagi tantangan anemia pada remaja putri dari 37,1 persen pada Riskedas 2013 yang justru mengalami peningkatan menjadi 48,9 persen pada Riskesdas 2018, dengan proporsi anemia ada di kelompok umur 15-24 tahun dan 25-34 tahun.

Hal-hal tersebut jelas menguatkan bahwa kesehatan remaja sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan, terutama dalam upaya mencetak kualitas generasi penerus bangsa di masa depan. Apalagi, kesehatan gizi remaja harus terpenuhi sejak dini untuk menjadi bekalnya saat menjadi ibu kelak.

(zo)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya