Tangkal Radikalisme, Serikat Guru Soroti Gaya Mengajar
- ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho
VIVA – Terkait radikalisme dan terorisme yang belakangan ini marak terjadi dan mengikutsertakan anak-anak, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) angkat bicara. Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting mereka dalam rangka membangun strategi menekan upaya radikalisasi di dunia pendidikan khususnya di sekolah.
Dalam pernyataan tertulis yang diterima VIVA pada Minggu, 20 Mei 2018, berikut ini empat poin catatan penting dan mendesak yang disoroti FSGI.
PERTAMA, kekerasan dalam bentuk apapun semestinya tidak lagi terjadi di masyarakat, apalagi di dunia pendidikan. Ideologi radikalisme, yang berujung dengan aksi kekerasan berawal dari cara pandang yang tidak menghargai perbedaan. Merasa bahwa pendapatnya, diri atau kelompoknya yang paling benar dan anti terhadap pluralitas.
Bibit-bibit radikalisme sudah tumbuh sejak dini di sekolah melalui pendidikan. Pembelajaran di kelas yang tidak terbuka terhadap pergulatan pendapat dan cara pandang. “Pembelajarannya tidak didesain menghargai perbedaan.
Sehingga para siswa dan guru terjebak pada “intoleransi pasif”, yaitu perasaan dan sikap tidak menghargai akan perbedaan (suku, agama, ras, kelas sosial, pandangan keagamaan dan pandangan politik), walaupun belum berujung tindakan kekerasan. Model intoleransi pasif inilah yang mulai muncul di dunia pendidikan kita,” kata Heru Purnomo, Sekjen FSGI.
KEDUA, guru terjebak kepada pembelajaran yang satu arah. Maksudnya adalah praktik pembelajaran di kelas masih berpusat pada guru (teacher centered learning). Guru menerangkan pelajaran, siswa mendengar. Guru tahu, siswa tidak tahu. Guru selalu benar dan siswa bisa salah.
Seperti diungkapkan Wasekjen FSGI, Satriwan Salim, “Relasi pembelajaran yang terbangun antara guru dan siswa adalah relasi guru superior dan siswa inferior.” Pola seperti ini masih banyak ditemukan oleh FSGI di sekolah-sekolah.
“Tidak tercipta ‘pembelajaran dialogis’ antara siswa dan guru. Penyemaian radikalisme terjadi ketika guru terbiasa mendoktrin pelajaran, apalagi dalam ilmu sosial dan agama. Tidak terbangunnya suasana pembelajaran dialogis, mendengarkan pendapat argumentasi siswa,” ujar Satriwan yang juga seorang guru di SMA Labschool Jakarta.
FSGI menemukan bahkan ada guru yang tiap hari mem-posting di akun FB-nya berita-berita hoaks dari sumber tak kredibel. Aktif me-reshare tautan dan video bermuatan kebencian SARA. Dan konten-konten yang memojokkan salah satu kelompok politik di negara.
KETIGA, sikap siswa yang terbuka terhadap praktik intoleransi mulai berkembang di kelas ketika diajar oleh guru yang membawa pandangan politik pribadinya ke dalam kelas. “Guru mengajar, sambil menjelaskan materi kemudian menyisipkan pilihan-pilihan politik bahkan sikap politik pribadinya terkait calon presiden atau komentar terkait aksi terorisme yang terjadi bahwa ini adalah pengalihan isu atau mendukung konsep negara khilafah, bahkan bersimpati terhadap ISIS,” kata Heru.
KEEMPAT, masuknya bibit radikalisme ke sekolah karena sekolah cenderung tidak memperhatikan secara khusus dan ketat perihal kegiatan kesiswaan, apalagi terkait keagamaan. Ditambah intervensi alumni dan pemateri yang diambil dari luar sekolah tanpa screening oleh guru atau kepala sekolah.
Masuknya pemikiran yang membahayakan kebhinnekaan ini bisa dari alumni melalui organisasi sekolah atau ekstrakurikuler, pemateri kegiatan kesiswaan yang bersifat rutin (sepeti mentoring dan kajian terbatas).