Jelang Hardiknas 2018, Apa Kabar Pendidikan di Indonesia?

Ilustrasi anak sekolah.
Sumber :
  • Pixabay/Public domain pictures

VIVA – Jelang Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2018, merupakan waktu yang tepat untuk merefleksi berbagai elemen yang terkait dengan pendidikan di Indonesia. Meski sebenarnya tugas pendidikan tak terpaku pada batasan waktu, melainkan tugas yang berkesinambungan.

Tak sedikit dari kita yang melihat masalah pendidikan ibarat fenomena gunung es, yaitu gawat darurat pendidikan dipandang insidental, misal hanya terjadi saat ada kekerasan pada anak, server UNBK rusak atau ada jembatan roboh. Padahal yang terjadi di banyak ruang kelas dan keluarga di penjuru Nusantara masih penuh keterbatasan, dan terjadi setiap hari.

Dunia pendidikan Indonesia masih menghadapi fakta bahwa hasil PISA 2015 menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam memahami isu sains berada pada peringkat 64, kemampuan membaca pada peringkat 66 dan kemampuan Matematika pada peringkat 65 dari 72 negara partisipan OECD.

Ilustrasi gedung pendidikan/Sebuah gedung sekolah dasar terdampak banjir bandang di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumtera Barat, pada Kamis, 24 Agustus 2017.

Hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) mengungkapkan prosentase pencapaian siswa Indonesia sesuai standar yang ditetapkan masing-masing di bidang Matematika adalah 77,13 persen, Membaca sebesar 46,83 persen dan Sains sebesar 73,61 persen (Pusat Penilaian Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2016).

Di aspek lain, menurut data UNICEF (2015) 26 persen anak Indonesia mengalami kekerasan di rumah. Survey ICRW (2013-2014) menunjukkan 27,2 persen siswa laki-laki dan 9,4% perempuan dari total 1.682 siswa antara usia 12-14 tahun pernah mengalami kekerasan di sekolah.

“Harapan akan keluaran pendidikan yang lebih baik di Indonesia hanya dapat terwujud secara efektif dengan mengubah paradigma pendidikan lebih dari sekedar kegiatan bersekolah. Pendidikan merupakan sebuah proses kolaboratif antara anak, orangtua, pendidik dan lingkungan sosialnya – yang terjadi sepanjang hayat,” tegas Najelaa Shihab, Inisiator Jaringan Semua Murid Semua Guru (SMSG) dalam rilis yang diterima VIVA, Jumat, 27 April 2018.

Ia menggarisbawahi 3 persoalan utama pembangunan di bidang pendidikan, yaitu akses, kualitas dan pemerataan. “Sekitar 5 juta anak usia sekolah di Indonesia, tidak bersekolah. Perbaikan akses memberi kesempatan anak untuk sekolah, tetapi saat berada di ruang kelas mereka dijejali informasi yang seharusnya mudah didapat dengan teknologi,” imbuhnya.

Sampaikan Pesan Mendikbud, Anies Sebut Peserta Didik Mesti Berkarakter

Ilustrasi-Aktivitas siswa sekolah dasar di hari pertama belajar mereka


Peningkatan kualitas belajar-mengajar dijumpai Najelaa saat ini masih sebatas pada upaya pemenuhan tujuan yang terlalu rendah yaitu untuk meningkatkan pencapaian nilai ujian atau demi mengungkit data statistik di permukaan.

Masalah Pendidikan di Indonesia, Putus Sekolah hingga Salah Jurusan

“Kualitas belum mempercakapkan kebutuhan asasi manusia, pengembangan individu yang utuh untuk menjawab kebutuhan abad 21, atau memupuk insan yang siap berkontribusi bagi dan dari negeri ini. Pemerataan yang diupayakan dalam kenyataannya kerap kekurangan sumber daya atau terjebak dalam sistem penganggaran,” jelasnya lagi.

Peningkatan terhadap akses dan kualitas pendidikan dapat terwujud lebih progresif dan berdampak lebih besar melalui pelibatan aktif seluruh unsur publik. Jaringan SMSG yang lahir sejak 3 tahun lalu bergerak untuk mempercepat pencapaian aspirasi pendidikan Indonesia.

Wali Kota Semarang Apresiasi Konsep TK Inklusi

Najelaa mengungkapkan, “SMSG berupaya menggalang emansipasi untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya, melalui berbagai kegiatan kreatif berbentuk sesi peningkatan kesadaran, dialog, konsultasi dan kemitraan program yang menyentuh dan melibatkan anak atau murid, guru, orangtua dan mitra kerja lainnya secara sekaligus.”

Media Gathering Semua Murid Semua Guru

Hingga 2018, SMSG didukung oleh sedikitnya 399 komunitas dan organisasi pendidikan, telah menjangkau sedikitnya 500 sekolah yang menjalankan praktik baik dan menjangkau sebanyak 357.329 relawan guru, orangtua dan siswa di 252 kabupaten/kota, serta bekerja sama dengan 15 kementerian/lembaga dan 28 media massa.

Para pegiat Jaringan SMSG percaya, publik yang terdiri dari unsur komunitas atau organisasi pendidikan dan guru, tokoh masyarakat, pemuda, korporasi swasta atau sektor industri, media dan masih banyak lagi, dapat dan perlu diberdayakan untuk turut mendorong peningkatan pendidikan Indonesia.

Pemilihan nama “Semua Murid Semua Guru” sendiri memperluas makna pendidikan yang tidak dibatasi hanya oleh sekolah. Najelaa mengatakan, “Masing-masing dari kita adalah subjek dan sekaligus objek pendidikan. Begitu banyak kegagalan paham yang bisa kita atasi dengan kegemaran belajar karena kita SEMUA MURID. Begitu banyak peran yang kita bisa ambil dan teladan yang bisa kita lakukan karena kita SEMUA GURU.

Di dalam menjalankan aktivitasnya, SMSG berpegang pada 5 prinsip jaringan yang dilaksanakan bersama, yaitu 1. Mewujudka pelajar sepanjang hayat; 2. Memberdayakan semua pelaku dan peran; 3. Menghargai keragaman; 4. Berkolaborasi secara terbuka; dan 5. Mempraktikkan standar baik.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya