Murid Tidak Patuh, Hukuman dari Guru Harus Bijak
VIVA – Video guru menampar murid-muridnya di dalam kelas viral di media sosial. Guru berinisial LK itu menyatakan, alasan ia melakukan tindak kekerasan karena murid-muridnya bersikap keterlaluan.
"Tolong disadari, saya melakukan itu bukan tanpa tujuan. Saya pun dulu pernah merasakan dan saya dendam karena itu. Tapi saya ingin rasa sakit yang saya berikan sebagai pengingat karena kalian sudah keterlaluan,” ujar LK dalam video seperti VIVA kutip dari akun Facebook A'an Harahap.
Seperti diketahui, kekerasan di sekolah yang dilakukan guru pada murid ini bukan pertama kalinya. Pantauan VIVA, dalam enam bulan terakhir sudah ada beberapa tindak kekerasan dari guru ke murid.
Misalnya, di sekolah dasar di Medan, Sumatera Utara bulan Maret 2018 lalu. Guru berinisial RM menghukum muridnya, MBP, karena tidak membawa pupuk kompos untuk menanam bunga di lingkungan sekolah.
Sebelumnya pada November 2017, guru di SMK Gema Bangsa, Cisoka, kabupaten Tangerang melakukan kekerasan dengan menendang murid beberapa kali. Kejadian ini terungkap setelah videonya beredar luas di media sosial.
Jika mengamati perilaku kekerasan dari guru ke murid, seperti pada tiga kasus tersebut, ditemukan motif yang sama, yaitu guru memberi hukuman dengan tujuan mendisiplinkan anak didiknya.
Hukuman harus relevan
Menanggapi maraknya kasus kekerasan di sekolah, psikolog Nessi Purnomo menyoroti soal metode hukuman yang diterapkan guru. "Hukuman pada anak atau murid, boleh. Tapi sifatnya harus membangun dan relevan. Hukuman harus punya nilai membuat anak menjadi pribadi yang lebih baik,” ujar Nessi kepada VIVA dalam sambungan telepon.
"Misalnya pelanggaran anak berupa membuang sampah sembarangan, ya, misalnya dihukum dengan membersihkan lapangan. Kalau hukuman jilat WC itu apa maksudnya?" kata Nessi menambahkan.
Psikolog dan pendidik Najelaa Shihab menuliskan dalam bukunya Keluarga Kita Mencintai dengan Lebih Baik, yang paling diingat tentang hukuman adalah apa yang dirasakan, emosi negatif karena merasa dipermalukan dan disalahkan, atau keinginan untuk melakukan perlawanan pada siapa pun yang menjatuhkan hukuman.
"Menumbuhkan disiplin diri pada anak tidak efektif dengan hukuman/punishment," mengutip isi buku itu.
Tidak ada memanusiakan hubungan
Najelaa Shihab mengatakan bahwa timbulnya tindak kekerasan di sekolah dilatarbelakangi faktor nilai hubungan yang tidak berkualitas. “Saya bilangnya memanusiakan hubungan itu tidak ada, ya, di pendidikan kita. Padahal kita (guru) tidak harus semata-mata fokus mengajar anak pelajaran tertentu, tapi menjalin hubungan dengan anak, membantu dia mengelola emosinya, mengarahkan supaya perilakunya berakhlak,” kata wanita yang akrab disapa Ella kepada VIVA.
Kekerasan dan pendidikan tidak akan pernah seiring sejalan. Menerapkan pendidikan dengan pola kekerasan, ditegaskan Ella, bukan langkah yang tepat, karena merupakan dua hal yang bertolak belakang.
“Yakinlah bahwa kekerasan dan pendidikan itu bertolak belakang, kok. Kita menuju tujuan pendidikan yang baik menggunakan cara yang tidak tepat, itu pendidikan macam apa? Tujuan apa yang ingin dicapai? Apakah tujuan membentuk anak menjadi pribadi yang takut, tidak percaya diri di masa depan, dan menjadi pelaku kekerasan juga? Murid-murid itu juga perlu dihormati,” kata Ella.
Jika mau memutus mata rantai kekerasan di sekolah, bukan hanya tugas guru. Tapi seluruh elemen dalam ekosistem sekolah ikut terlibat, termasuk kepala sekolah.
“Pola di sekolah itu harus diubah. Diubah itu bukan hanya dari guru ke siswa. Dari kepala sekolah ke guru juga jangan-jangan melakukan kekerasan tertentu. Kalau kekerasan fisik mungkin tidak, ya. Tapi kalau kekerasan emosional dan sebagainya, itu kan juga membuat guru lebih rentan melakukan kekerasan ke siswa,” kata Ella.