Contoh Beri Hukuman pada Anak Tanpa Membuatnya Trauma
- Pixabay
VIVA – Hukuman fisik masih sering diterapkan orangtua di Indonesia untuk menegakkan disiplin anak. Contohnya, pukul pantat ketika anak rewel, atau cubit di paha untuk menghentikan tangis anak.
Tak hanya orangtua di rumah, di sekolah pun demikian. Beberapa guru menganggap bahwa hukuman fisik adalah cara efektif untuk membuat murid mematuhi aturan. Anda tentu masih ingat, kasus-kasus kekerasan di sekolah yang belakangan ini sering diwartakan media.
Satu contoh, hukum jilat WC yang terjadi di salah satu sekolah dasar di Medan, Sumatera Utara. Penerapan hukuman itu dipicu karena murid (MBP) tak mematuhi permintaan guru (RM) yang meminta membawa pupuk kompos untuk menanam bunga di sekolah.
Menurut psikolog dan pendidik Najelaa Shihab, budaya menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak, baik di rumah maupun di sekolah.
"Masalah utama di dunia pendidikan kita itu budaya kekerasan. Pola disiplin yang dipakai guru di sekolah, bahkan orangtua di rumah, masih sering menggunakan kekerasan. Bahkan anak tumbuh dengan terbiasa digunakan cara kekerasan, meski bukan kekerasan fisik, tapi kekerasan verbal seperti ancaman, itu masih umum sekali,” kata pendidik yang akrab disapa Ella itu kepada VIVA, beberapa waktu lalu.
Bolehkah menerapkan hukuman pada anak?
Menurut psikolog Nessi Purnomo, memberlakukan hukuman pada anak, tidak dilarang. Namun, sifatnya harus relevan dan membangun kepribadian anak menjadi lebih baik.
“Kalau contohnya hukuman jilat WC itu apa maksudnya?” kata Nessi.
“Hukuman pada anak, boleh saja. Namun yang sifatnya membangun dan relevan. Misalnya, anak kedapatan membuang sampah sembarangan, ya, misalnya diberi hukuman membersihkan lapangan. Selama tiga hari atau seminggu, kebersihan lapangan jadi tanggung jawab dia,” ujar Nessi menambahkan.
Sedangkan Najelaa Shihab menegaskan dalam bukunya Keluarga Kita Mencintai dengan Lebih Baik, yang bisa orangtua lakukan ketika anak melakukan pelanggaran adalah memperbaiki hubungan dan situasi yang sempat rusak, melalui menjalin komunikasi dengan cara yang efektif. Misalnya, banyak melakukan kegiatan bermain dan humor, memuji dan mengkritik dengan bijak, serta membuat kesepakatan bersama.