Bayi dan Balita Juga Jadi Korban Eksploitasi Seksual
- Pixabay
VIVA – Dalam beberapa waktu belakangan, Indonesia sempat digemparkan dengan kasus video porno, seorang anak kecil dengan perempuan dewasa. Hal ini kemudian tersebar luas melalui jaringan internet.
Kasus ini mungkin hanya satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual pada anak yang terjadi di internet. Mirisnya, menurut Direktur Eksekutif ECPAT International, Dorothy Rozga, sebagian besar korban yang ditunjukkan dalam materi pelecehan seksual online adalah anak-anak yang baru lahir.
"Kebanyakan adalah anak-anak di bawah usia 10 tahun. Beberapa bahkan bayi dan balita. Survei yang diterbitkan tahun lalu oleh Centre for Child Protection Kanada menemukan bahwa 56 persen korban eksploitasi online melaporkan bahwa pelecehan mereka dimulai pada atau sebelum usia 4 tahun," kata Dorothy saat ditemui di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa 6 Februari 2018
Dorothy juga menegaskan, bahwa tidak ada usia pasti anak-anak kebal terhadap ancaman eksploitasi seksual secara online. Seiring bertambahnya usia anak, lanjut dia, makin luas juga akses mereka ke internet dan teknologi.
"Dengan demikian, cara-cara di mana mereka bisa dieksploitasi meningkat dan menjadi lebih kompleks. Mereka menjadi lebih rentan terhadap sexting, dan sextorion (pemerasan seksual)," kata dia.
Studi yang akan dilansir oleh ECPAT dan Interpol juga mengungkap bahwa tingkat keparahan pelecehan seksual dan penyiksaan cenderung lebih besar dalam citra anak-anak muda. Mengejutkannya, pelakunya kebanyakan adalah orang terdekat.
"Bagi mayoritas korban sekitar 80 persen pelaku kekerasan adalah seseorang yang berada dalam lingkaran kepercayaan mereka. Orang tua, saudara, wali, guru, tetangga, pelatih atau pengasuh mereka," tambah dia.
Guna mengatasi kejahatan seksual ini secara efektif terhadap anak-anak, Dorothy mengatakan bahwa negara-negara perlu mengembangkan berbagai kemampuan yang akan digabungkan dalam respons yang komprehensif dan terkoordinasi.