Berburu Tiwul dan Gatot Khas Yogyakarta
- VIVA.co.id/Daru Waskita
VIVA.co.id – Makanan tradisional Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, setiap libur Lebaran laris manis diborong oleh pemudik dan wisatawan yang berkunjung ke sejumlah objek wisata di Bumi Handayani tersebut.
Makanan tradisional seperti tiwul dan gatot menjadi makanan favorit wisatawan yang diburu sebagai buah tangan. Omzet dua makanan tersebut bahkan naik 100 persen dibandingkan hari biasa.
Agus Lambang (43) pemilik toko oleh-oleh tiwul di Jalan Baron Km 4 Gunungkidul mengatakan, untuk menyambut pemudik dan wisatawan, pihaknya menyiapkan lima kwintal tepung ketela yang dibuat untuk bahan tiwul aneka rasa dan gatot.
Untuk tiwul, Agus menyiapkan berbagai macam rasa, mulai dari rasa original tepung ketela dicampur gula Jawa, rasa nangka, keju, pandan, kopi, dan cokelat. Rasa original dijual dengan harga Rp12 ribu dan varian lain Rp15 ribu per kotak.
"Untuk rasa yang paling banyak dipesan yang original, dan rasa nangka," katanya di Yogyakarta, Rabu, 28 Juni 2017.
Pria yang mulai membuka usaha tersebut selama tiga tahun terakhir itu mengaku mempersiapkan berbagai rasa tiwul agar makanan tradisional ini naik kelas dan lebih menarik. Berbeda dengan toko tiwul lainnya, tiwul dan gatot miliknya sengaja dibuat langsung sesuai pesanan, sehingga pembeli harus menunggu beberapa saat.
"Saya tidak menambahkan pengawet, jika dimasukkan ke dalam kulkas bisa tahan dua hari," ujarnya.
Untuk menyambut pemudik dan wisatawan, pihaknya mempersiapkan lima kwintal tepung ketela untuk seminggu. Tepung ketela ia dapat dari beberapa petani lokal dari Kecamatan Tanjungsari. Setiap hari, sejak libur Lebaran, rata-rata penjualan tiwul mencapai 100 kotak per hari, meningkat dua kali lipat dibandingkan hari biasa.
"Jika para pengunjung pantai banyak, bisa mencapai 300 boks. Pengunjung yang sudah langganan biasanya memesan terlebih dahulu, dan pulangnya mereka ambil," katanya.
Tak hanya makanan khas dari Gunungkidul yang diburu untuk oleh-oleh, makanan khas dari kota Yogyakarta juga diburu untuk dijadikan buah tangan, seperti cokro tela yang merupakan kue dengan bahan baku ketela. Permintaan kue ini mengalami lonjakan sebesar 30 hingga 50 persen saat arus balik berlangsung.
Pemilik sekaligus Direktur Pusat Oleh-Oleh Modern Khas Bantul, Cokro Tela, Firmansyah Budi Prasetyo, mengatakan bahwa kenaikan konsumen terjadi karena maraknya pemudik yang pulang ke daerah asalnya sambil membawa oleh-oleh khas Yogyakarta.
"Cokro Tela merupakan roti berbahan dasar dari singkong yang merupakan salah satu bahan pangan lokal. Adapun singkong didapat dari petani-petani di kawasan Bantul dan sekitarnya," ucap Firman menjelaskan.
Diakui Firman, selama menjelang Lebaran dan saat arus balik berlangsung, rata-rata ia mampu menjual kisaran 300 hingga 500 kotak kue setiap harinya. Konsumen kebanyakan berasal dari luar Yogyakarta.
"Dari 35 jenis varian kue yang ada, peminat terbanyak jenis bolu panggang dan bolu kukus. Selain aneka cake dan jenis kue, ada pula bakpia, cokelat dan aneka oleh-oleh khas Bantul," ujarnya.
Pascalebaran, Firman memprediksikan kenaikan konsumen lebih signifikan lagi yakni antara 30 hingga 50 persen.
Adapun Cokro Tela merupakan pusat oleh-oleh yang menyasar segmen menengah karena harga yang ditawarkan di bawah Rp30 ribu untuk jenis cake standar.
"Selain menjual kami juga mengedukasi masyarakat akan pentingnya pangan lokal. Meski demikian, dalam proses pembuatannya, kendala kami ada pada masih naik turunnya kualitas dari bahan baku Cokro Tela yakni tepung singkong (mocaf) dan singkong segar. Adapun untuk bahan baku, kami menghabiskan rata-rata satu hingga dua ton singkong segar per hari dan tiga kuintal mocaf pe rhari," ucapnya. (ren)