Cerita di Balik Secangkir Teh Putih
- Pexels/Nikolay Osmachko
VIVA.co.id – Menjadi salah satu minuman favorit mayoritas penduduk Indonesia, teh menempuh pergulatan sejarah yang cukup panjang. Tanaman penghasil teh, Camellia sinensis, pertama kali masuk ke Tanah Air pada tahun 1684, dibawa dari Jepang oleh seorang pegawai Vereenigde Oostindische Compagnie berkebangsaan Jerman, Andreas Cleyer.
Awalnya, teh tak langsung dibudidayakan secara masif di Hindia Belanda (nama Indonesia dulu) lewat kebun yang berhektar-hektar seperti sekarang. Melansir laman Wikipedia, teh dulu hanya dijadikan sebagai tanaman hias oleh gubernur jenderal kongsi dagang VOC kala itu, Johannes Camphuys, di depan rumahnya, di kawasan Batavia (sekarang Jakarta).
Namun belakangan sang gubernur jenderal melihat 'tambang emas' di balik pohon hiasnya. VOC tak tinggal diam dan menjadikan teh hanya sebagai tanaman hias. Memasuki abad ke-18, mereka mulai membangun pabrik-pabrik pengolahan teh di seluruh penjuru Hindia Belanda. Sementara itu, perkebunan berskala besar baru diinisiasi oleh ahli teh asal Belanda, Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, pada tahun 1828 di Pulau Jawa.
Tumbuh kembang teh sempat melambat ketika Inggris menduduki Hindia Belanda, namun kembali normal tatkala Belanda kembali mengambil alih kuasa. Meski pahit, namun Culturstelsel atau Sistem Tanam Paksa menjadi cikal bakal merebaknya kebun teh di hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini, terutama Provinsi Jawa Barat.
Kedigdayaan teh dari masa ke masa kian menguat, entah karena rasa yang nikmat atau balada swastanisasi perkebunan. Yang pasti, dari sekian banyak teh yang ada, salah satu variannya bernama white tea atau biasa disebut teh putih, kini menjadi primadona tersendiri bagi warga Indonesia.
Asal Usul
Menelisik sejarah, teh putih berasal dari Provinsi Fujian, China. Teh satu ini diambil dari sebuah pohon teh dengan varian khusus yang hanya tumbuh di sana, dengan pucuk daun berbulu warna putih keperakan.
Lewat teknologi pertanian yang kian modern, teh putih kini bisa dibudidayakan di luar Negeri Tirai Bambu, salah satunya Indonesia.
Di Indonesia, teh putih dihasilkan dari klon tanaman teh yang dikembangbiakkan Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung, Bandung. Meski berbentuk sama dengan produk asli China, namun teh putih asal Indonesia memiliki ciri khas tersendiri akibat proses cloning hingga kondisi geografis yang berbeda.
"Aroma dan rasa teh putih Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dengan China atau negara lain karena dihasilkan dari klon asli yang dibiakkan di Indonesia. Selain itu, kondisi iklim dan tanah Indonesia juga berbeda," ujar Ratna Somantri, pakar teh sekaligus Head of Promotion Dewan Teh Indonesia, saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu, 7 Desember 2016.
Produksi teh putih terbanyak berasal dari Jawa Barat. Ini tak terlepas dari kondisi tanah serta iklim yang ideal, juga pusat pembiakannya yakni PPTK Gambung yang berada di sana. Namun kini, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Barat juga turut memproduksinya.
Perlu diketahui Indonesia hanya memiliki satu jenis teh putih, yaitu Silver Needles atau Silver Tips.
Selain rasa yang segar dan elegan, teh putih juga memiliki khasiat lebih. Dibandingkan jenis lainnya, teh putih mengandung antioksidan yang lebih tinggi. Proses produksi yang alami tanpa melalui pemanasan suhu tinggi seperti teh hijau atau teh hitam, menjadikan kandungan antioksidannya relatif lebih terjaga.
"Antioksidan dalam teh putih dipercaya mampu membantu mencegah kerusakan sel tubuh akibat radikal bebas, sehingga bisa mencegah kanker. Satu cangkirnya memiliki kandungan antioksidan yang tinggi dan bermanfaat, tentu bila dibarengi konsumsi secara rutin dan gaya hidup sehat," ujar Ratna, yang telah mendalami teh selama kurang lebih 10 tahun itu.
Saking eksklusifnya, cara memperlakukan teh putih, mulai dari tahap produksi di lapangan hingga pola penyeduhan untuk dinikmati saat waktu senggang pun tergolong berbeda. Ya, keunikannya begitu spesial untuk dipandang hingga dirasakan.
Proses Pengolahan
Bagai sebuah pusaka berharga, memperlakukan teh putih tak bisa semena-mena begitu saja. Ratna menjelaskan, teh putih hanya dibuat dari pucuk daun yang belum terbuka. Tak sampai di situ, mengeringkannya pun hanya bisa dilakukan di bawah sinar matahari.
"Teh putih hanya dikeringkan di bawah sinar matahari. Jika hujan atau malam hari, ia akan dikeringkan di dalam ruangan dengan pemanasan lewat lampu atau oven, namun tidak boleh dengan suhu yang terlalu tinggi," ujarnya.
Proses pengeringan tersebut, bagi Ratna yang rutin mengadakan tea class di sejumlah tempat, bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam daun teh putih. Namun, karena butuh perlakuan khusus, maka suhunya tidak boleh kelewat tinggi karena bisa merusak kandungan didalamnya.
"Intinya buat mengeringkan teh dan mengurangi kadar airnya saja, tetapi tidak boleh terkena panas terlalu tinggi. Berbeda dengan green tea dan black tea yang menempuh beberapa kali proses pemanasan sampai suhu 100 derajat Celsius dalam proses produksinya," kata Ratna menambahkan.
Bukan hanya pihak produsen saja yang harus ekstra hati-hati, tapi juga para penikmat teh putih itu sendiri. Bagaimana tidak, ia memiliki takaran seduh pada suhu dan durasi tertentu. Bila diabaikan, maka cita rasa yang sesungguhnya dari teh putih tak dapat dirasakan penikmatnya, dan rasanya akan biasa saja di mulut.
"Teh putih diseduh dengan suhu 70-80 derajat Celsius, tidak boleh terlalu panas, kira-kira butuh waktu sekitar tiga hingga lima menit. Memang lebih lama dari menyeduh teh hijau karena teh putih dibuat dari pucuk daun yang masih belum membuka dan itu sangat alami, sehingga butuh waktu ekstra agar bisa mengeluarkan aroma dan rasanya," ucap Ratna.
Khasiat, cita rasa, hingga perlakuan yang eksklusif, ternyata dibarengi juga dengan harga yang serupa. Konon, membeli teh putih satu kilogram saja bisa menghabiskan dana mencapai jutaan rupiah. Tentu, hal ini bukan tanpa alasan.
Harga Selangit
Harga teh putih Indonesia termurah dibanderol Rp1,5 juta per satu kilogram. Itu pun bisa lebih mahal lagi, tergantung kondisi iklim dan hal-hal lainnya. Nilai tersebut masih tergolong lebih rendah, bila dibandingkan dengan harga teh putih di luar negeri.
"Kalau teh putih dari China bisa mencapai Rp3 hingga Rp10 juta per kilogramnya," ujar Ratna.
Harga yang terbilang fantastis itu, konon diperhitungkan berdasarkan pola panennya yang selektif. Memilih pucuknya saja tidak bisa sembarangan, karena butuh kriteria yang tepat agar kualitasnya terjaga.
"Proses pengolahan teh putih sendiri sebetulnya tidak rumit, namun karena ia hanya dibuat dari pucuk daun teh yang belum membuka saja. Ditambah dari satu hektar lahan, hanya 1-2 persen dari produksi daun teh saja yang bisa dibuat menjadi teh putih," kata Ratna, menjelaskan salah satu faktor mengapa teh putih begitu mahal.
Catatan soal harga teh putih ini, kemudian dikaitkan oleh banyak pihak dengan tingkat konsumsinya. Di Indonesia, penduduknya masih terhitung rendah dalam mengonsumsi teh putih, meski Ratna punya argumen lain soal hal tersebut.
"Jumlah teh putih masih terbatas dibanding teh hitam atau teh melati, ditambah harga yang mahal. Selain itu juga, tidak semua orang Indonesia mengenal teh putih," ujar Ratna, memberikan pernyataan terkait tingkat konsumsi teh putih di Tanah Air.
Pada akhirnya, sejumlah kalangan mampu menerima bahwa teh putih telah menjelma sebagai primadonan teh. Namun, bagi Ratna, hal tersebut hanya berlaku di Indonesia saja, mengingat masih ada jenis teh lain yang eksotik untuk dicicipi, baik dari segi rasa maupun harga.
"Untuk di Indonesia, ia menjadi primadona teh. Tetapi di luar negeri, ada banyak teh lain yang harganya lebih mahal," ujar Ratna.
Ia memberi contoh, salah satu teh yang juga berasal dari China bernama Da Hong Pao, memiliki harga Rp18 juta untuk satu gramnya saja.
Saat ini, masyarakat bisa memperoleh teh putih asli Indonesia di sejumlah tempat seperti Kemchick Pacific Place, Gaia Tea dan Grand Indonesia. Namun, jika tertarik untuk mencicipi teh putih asal China, tempat-tempat seperti TWG Tea Pacific Place dan Plaza Senayan patut Anda sambangi.