Soto, Hidangan Akulturasi Budaya Indonesia-China
Rabu, 18 Februari 2015 - 13:41 WIB
Sumber :
- Dok. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
VIVA.co.id - Soto adalah hidangan berkuah yang dibuat dari kaldu daging dan sayuran. Daging yang paling lazim digunakan ialah daging sapi dan ayam.
Baca Juga :
Nasi Goreng Kampung Khas RI Diminati Meksiko
Masyarakat Indonesia telah lama mengenal hidangan yang satu ini. Bahkan, kelezatan dan kesegaran soto membuatnya menjadi hidangan favorit orang Indonesia. Di seluruh Nusantara, soto sangat mudah ditemui di pinggir jalan, di kedai, atau warung makan hingga restoran.
Berbagai daerah di Indonesia memiliki versi soto masing-masing, ada yang memakai santan, ada yang menggunakan daging sapi, daging ayam, dan masih banyak lagi.
Cara penyajiannya pun berbeda-beda di tiap daerah. Namun, biasanya soto disajikan bersama nasi, lontong, ketupat, mi, atau bihun dan berbagai lauk lainnya seperti kerupuk, perkedel, emping, sambal, telur puyuh, sate kerang, koya dan sebagainya.
Lalu, bagaimana asal mula soto hingga menjadi salah satu kuliner Indonesia yang populer?
Akulturasi budaya China
Sebenarnya, asal muasal hidangan segar berkuah ini masih simpang siur. Bukti-bukti antropologis menyebutkan soto kemungkinan berawal dari Jawa Tengah sekitar abad ke-18.
Seorang profesor asal Prancis, Denys Lombard yang meneliti kebudayaan Indonesia selama lebih dari 30 tahun dalam bukunya yang berjudul 'Nusa Jawa: Silang Budaya' menuliskan bahwa asal mula soto adalah hidangan sup khas China bernama caudo.
Hidangan tersebut, pertama kali populer di wilayah Semarang. Lama kelamaan, caudo pun berubah menjadi soto, setelah mengalami berbagai perubahan dalam hal bumbu, bahan-bahan pembuatan dan cara menyantapnya.
Orang Makassar, kemudian menyebutnya coto dan orang Pekalongan menyebutnya tauto. Di beberapa tempat, soto juga disebut sauto.
Beberapa bukti bahwa soto berasal dari China ialah penggunaan mi, atau soun. Tentu saja, mi adalah makanan tradisional China yang teknologi pembuatannya ditemukan disana.
Tak hanya itu, bubuk koya pada soto yang juga terdapat di hidangan lontong cap go meh merupakan budaya kuliner Tionghoa peranakan. Bubuk koya terbuat dari santan kelapa yang dikeringkan dan berfungsi sebagai penyedap rasa serta penambah tekstur.
Bukti lainnya, yakni irisan bawang putih yang digoreng hingga kering yang telah lama menjadi budaya kuliner China. Ini juga ditemukan pada hidangan-hidangan China Pontianak.
Selain itu, soto juga umumnya disajikan dengan mangkok dan sendok bebek yang mana merupakan alat makan yang berasal dari China.
Namun, seorang antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Lono Simatupang juga pernah mengemukakan bahwa selain China, hidangan soto juga mendapat pengaruh budaya India. Ini, karena beberapa soto dimasak menggunakan kunyit sebagai bumbu tambahan layaknya kari khas India.
Upaya lokalitas
Penyebaran soto ke berbagai daerah di Indonesia kemudian diikuti upaya lokalitas. Ini yang kemudian membuat lahirnya berbagai varian soto seperti soto Semarang, soto Betawi, soto Kudus, soto Lamongan, Soto Madura, soto Bangkong, soto Padang, tauto Pekalongan, tauto Tegal, dan sebagainya.
Banyak orang yang menambahkan beragam bumbu, bahan dan lauk pada hidangan soto sesuai lidah mereka, sehingga soto di tiap daerah di Indonesia memiliki banyak perbedaan.
Bahkan, soto pun menjadi gambaran kebudayaan dan sejarah tiap daerah seperti soto tangkar dari Betawi. Zaman dahulu, masyarakat Betawi sulit membeli daging, sehingga mereka menggunakan tulang-tulang sapi untuk membuat soto.
Tetapi, kini soto tangkar juga telah mengalami perubahan dari dengan menggunakan daging yang menempel di tulang menjadi daging utuh, paru, babat, dan hati sapi. (asp)
Baca juga:
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Akulturasi budaya China