Harris Hartanto dan Kopi di Sumatera: Harus Terjangkau dan Tersedia
- VIVA/Adinda Permatasari
MEDAN – Kopi sudah menjadi budaya yang lekat dengan masyarakat Indonesia. Apalagi negeri ini juga merupakan penghasil kopi nomor empat terbesar di dunia.
Meski begitu, ada satu yang mengusik Harris Hartanto, CEO dan pendiri Coffeenatics di Medan, Sumatera Utara. Harris merasa kopi asli Indonesia masih belum banyak dikenal di mancanegara.
Hal itu berawal saat dia berkuliah di Australia sekitar tahun 2010. Dia mengamati dan mengikuti budaya minum kopi di sana. Dia pun menemukan bahwa kopi di Australia cukup mahal dan kebanyakan pembeli kopi menikmatinya sambil beraktivitas bukan duduk di kafe atau warung kopi seperti di Indonesia.
Selain itu, satu hal yang paling mencuri perhatiannya adalah Harris tidak menemukan satu pun jenis kopi Indonesia di sana meski konsumsi kopi mereka sangat tinggi.
Hingga kemudian pada 2015, Harris kembali ke Indonesia dan memberanikan diri membuka bisnis di bidang kopi.
"Saya eksplor dengan kapital yang lumayan pas-pasan, paling masuk akal dengan modal paling murah adalah kafe," ungkapnya di acara Wokrshop UMKM bersama Tokopedia di Medan, pekan lalu.
Tentu saja dia melewati tantangan saat membangun bisnisnya. Terlebih kopi bukanlah komoditi yang mudah didapat dengan cepat. Butuh 12-14 bulan untuk mendapat hasil kopi dari perkebunan.
Tapi, Harris sudah memiliki tekad ingin menghasilkan produk kopi berkualitas tinggi dengan harga terjangkau dan tersedia, affordable dan available. Dia pun memilih Medan dengan pemikiran untuk lebih dekat dengan petani kopi.
Menelusuri jejak pembuat kopi
Saat memulai bisnis kopi, Harris tak sekadar ingin menjual kopi berkualitas kepada penikmatnya. Tapi sekaligus memberdayakan petani kopi lokal di Sumatera. Ini juga yang menjadi pembeda coffee shop miliknya dengan yang lain.
"Kalau kita main ke coffee shop belum pernah yang bisa tahu kopi yang kita minum itu asalnya dari mana. Di Coffeenatics kita transparan darimana kopinya, kita coba trace. Kita punya relationship dari petani, prosesor, pengepul yang direct," ujarnya.
Salah satu alasan Harris melakukan itu adalah dia tidak ingin kopi yang dijualnya 'ganti KTP'. Maksudnya, ada produsen nakal yang mengklaim kopi Jawa sebagai kopi Sumatera.
Karenanya, dia ingin setransparan mungkin dengan kopi yang dijualnya sehingga dia pun memberi nama kopinya dengan nama petani kopi.
"Para pelanggan berhak mengetahui. Ada ID, prosesnya seperti apa, di tanam di mana, ketinggian berapa. Itu satu yang membedakan kita dari sekian banyak coffee shop," tambahnya.
Dengan cara demikian, Harris juga tak hanya menjadi pembeli hasil kopi petani tapi ikut mengedukasi untuk memajukan kualitas kopi mereka. Selain itu, dia pun ikut membuka jalan distribusi hasil kopi petani ke pembeli lainnya.
Harris juga memiliki sebuah program yang disebut adopsi. Program ini dilakukan untuk mendorong para petani kopi terus meningkatkan kualitas produk kopinya.
"Setelah berjalan 4-5 tahun, kita sudah mulai stabil kita mengharapkan bisa beli grade seperti yang kita mau. Jadi seperti apapun, jelek atau bagus kita beli di satu harga," katanya.
Harapannya, setiap tahun kopi yang dihasilkan para petani ini akan menjadi lebih baik.
"Misalnya grade 1 seharusnya Rp150 ribu, grade 2 Rp130 ribu. Saya tidak mau tahu, grade berapapun saya beli Rp150 ribu," bebernya.
Dengan demikian, menurut Harris, para petani merasa adanya komitmen dari pembeli. Terkadang, Harris pun sudah membayar DP 50 persen sebelum barang tersedia.