Logo DW

Apakah Gelatin Halal atau Haram?

DW/A.Maciol
DW/A.Maciol
Sumber :
  • dw

Apakah hanya mitos bahwa gelatin haram?

Selama beberapa tahun, diskusi tentang gelatin telah diangkat oleh komunitas muslim di seluruh dunia. Mayoritas masyarakat dan cendekiawan muslim percaya bahwa gelatin apa pun yang terbuat dari hewan adalah haram, terutama jika itu dari babi.

Perusahaan Pengembangan Industri Halal (HDC) yang berbasis di Malaysia telah menerbitkan fatwa seorang cendekiawan dari Universitas Al-Azhar.

Su’aad Salih, profesor Fiqih di Universitas Al-Azhar mengatakan, "Gelatin adalah zat rapuh yang diekstraksi dengan merebus tulang, kuku, dan jaringan hewan. Jadi itu tergantung pada hewan tersebut. Jika itu adalah hewan yang dagingnya halal, seperti sapi, unta, domba dan sebagainya, maka gelatin adalah halal, dan demikian pula halnya dengan semua makanan yang disiapkan darinya. Namun, jika hewan itu dari daging haram seperti babi, maka gelatin yang dibuat itu haram.”

Namun, banyak cendekiawan muslim dan anggota dewan Fiqih lainnya memiliki pendapat berbeda. Cendekiawan Syekh Muhammad Ibnu Umar Bazmool mengatakan dalam publikasi Muwahhideen yang berbasis di Tobago, karena gelatin berubah dari bentuk aslinya dan proses tersebut mengubah karakter zat, maka ini membuatnya dari haram menjadi halal.

Banyak anggota dewan Fiqih lainnya memiliki logika yang sama tentang gelatin. Mereka memberikan contoh anggur yang tidak dilarang dalam Islam sedangkan alkohol yang dibuat dari anggur adalah haram. Juga sebaliknya, ketika alkohol dijadikan bahan dasar cuka, tidak ada konflik dengan aturan agama.

Melalui proses yang disebut "Istihalah" dalam bahasa Arab, struktur kimia dan kelas molekul protein dalam kolagen diubah untuk membentuk zat baru seperti gel yang dikenal sebagai gelatin.

DW mewawancarai Syafiq Hasyim, Direktur Pusat Internasional untuk Islam dan Pluralisme di Indonesia. Ia menjelaskan ada dua aliran mazhab yang memiliki aturan berbeda terkait hal ini.

"Di Indonesia tentu penggunaan gelatin dari babi diharamkan, untuk dikonsumsi mau pun penggunaan pada apa pun. Hal ini karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganut mazhab Syafi'i,” kata Hasyim kepada DW.