Cuma Ada Saat Ramadan, Bubur Aceh Ini Dibuat dari 44 Daun
- VIVA/Dani Randi (Aceh)
VIVA – Aceh memang terkenal dengan kuliner tradisionalnya yang lezat. Tak heran daerah yang dijuluki Serambi Mekkah ini memiliki keunikan tersendiri dalam hal makanan.
Banyak makanan tradisional yang hanya muncul di waktu tertentu saja. Misalnya pada bulan Ramadan, makanan yang jarang tidak terlihat bisa dengan mudah di jumpai. Sebut saja Sambai Oen Peugaga, Kanji Rumbi dan Ie Bu Peudah.
Tiga jenis makanan itu sangat khas di bulan suci Ramadan. Tak berlebihan jika budaya Aceh menyatu dengan kulinernya yang bermacam-macam. Seperti Ie Bu Peudah yang hanya ada di bulan Ramadan. Makanan ini disebut sebagai perekat silaturahmi sesama masyarakat.
Makanan khas Aceh Besar ini sudah turun temurun dilestarikan, bahkan setiap desa, selalu memasak Ie Bu Peudah di masjid lalu dibagikan ke masyarakat. Tak ketinggalan, budaya gotong royong menjadi kunci dalam memasak Ie Bu Peudah.
Seperti warga Desa Bueng Bak Jok, Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Setiap kali Ramadan, bubur itu rutin disediakan sebagai makanan berbuka warga desa.
Ie Bu Peudah sendiri adalah masakan makanan sejenis bubur yang di masak dari berbagai bahan dan diolah dari 44 macam jenis dedaunan hutan seperti, daun peugaga, capa, oen tahe, daun muling dan sebagainya. Tentunya daun yang digunakan masih muda. Namun seiring berkembangnya zaman, daun-daun yang digunakan itu sangat sulit untuk didapat.
Lalu, bubur juga dimasak dengan campuran lada, kunyit, lengkuas, dan bawang putih. Adonan rempah itu kemudian dicampur dengan beras dan kelapa yang telah diparut.
Rempah yang digunakan sebagai bumbu itu memang berasa sedikit pedas. Karena itu, kemudian makanan ini disebut ie bu peudah, atau air nasi pedas.
(VIVA/Dani Randi)
Kepala Desa Bueng Bak Jok, Hafidh Maksum menceritakan, Ie Bu Pedah adalah salah satu tradisi di Kabupaten Aceh Besar di bulan Ramadan yang sudah ada sejak zaman kerajaan.
“Tradisi ini sudah lama. Cuma hanya ada di bulan Ramadan. Biasanya kita gunakan 44 dedaunan dalam campurannya. Makanan ini punya khasiat, bisa menghangatkan tubuh karena dari rempah-rempah,” kata Hafidh pada VIVA beberapa waktu lalu.
Makanan itu pun selalu dimasak setiap harinya selama Ramadan kemudian dibagikan ke seluruh warga desa setempat yang jumlahnya sekitar 270 kepala keluarga.
Cara memasaknya pun secara bergantian. Jika wanita menyiapkan bahannya, maka tugas pria ialah memasak dalam wajan yang ukurannya cukup besar.
“Masaknya khusus pria yang lakukan di Masjid, kalau wanita hanya menyiapkan bumbunya saja,” ucap Hafidh.
Mereka biasanya mulai memasak usai salat zuhur dan sesudah Ashar Ie Bu Peudah telah matang dan siap dibagikan ke ratusan masyarakat yang telah menunggu dengan membawa panci ukuran kecil sebagai wadahnya.