Ternyata Sangat Panjang Proses Produksi Vaksin Difteri
- ANTARA/Rosa Panggabean
VIVA – Merebaknya kejadian luar biasa (KLB) difteri di Indonesia membuat kebutuhan vaksin difteri meningkat. Bahkan, Direktur Utama PT Biofarma, Juliman, mengatakan, demi memenuhi kebutuhan vaksin di Indonesia, Biofarma sampai harus menunda pengiriman vaksin ke luar negeri.
Lantas, seperti apa produksi vaksin difteri yang dibuat di Indonesia ini? Juliman mengatakan, produksi vaksin membutuhkan proses yang tidak sebentar.
"Difteri itu adalah bakteri, jadi untuk membuat vaksinnya ada bibit bakteri difteri yang dikembangbiakkan, pada waktu sudah matang dia akan menghasilkan toksin. Toksin ini yang kita panen," ujar Juliman dalam Forum Merdeka Barat 9 di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Jumat 12 Januari 2018.
Kemudian, lanjut Juliman, untuk aktivasinya, toksin ini dimatikan dan diubah supaya tidak membahayakan. Hasilnya disebut dengan toksoid. Toksoid ini bersifat melindungi jika diberikan pada manusia.
"Toksoid ini perlu dimurnikan, komponen yang tidak diperlukan dibuang untuk mengurangi efek samping," kata Juliman.
Sebelum didistribusikan, setiap tahap proses pembuatan vaksin harus menjalani proses pengujian untuk menjamin kualitas, keamanan, dan kemanjurannya.
Setelah itu, vaksin yang sudah dipisahkan komponennya ini akan dimasukkan ke wadah yang disebut dengan vial. Satu vial bisa berisi 10 dosis vaksin.
"Prosesnya terbilang panjang. Bila dihitung dari awal, cukup lama sampai delapan bulan, tapi kita tidak sekali membuat dalam delapan bulan," kata Juliman.
Biasanya, sudah disediakan stok bakteri yang setengah jadi, sehingga ketika dibutuhkan untuk produksi vaksin, tinggal memformulasikannya saja.
"Tapi sebelum dijual, diuji dahulu. Tidak hanya di Biofarma tapi juga di BPOM, kalau belum mendapat sertifikat, belum dapat dijual," terangnya.
Biofarma mendistribusikan vaksin hingga ke 136 negara di dunia. 50 negara di antaranya merupakan negara muslim. (one)