Waspada Lima Gangguan Mental karena Internet dan Teknologi

Ilustrasi gangguan kepribadian, gangguan mental
Sumber :
  • Pixabay/Maialisa

VIVA – Seperti dua mata pisau, kemajuan teknologi diakui menjadi suatu keuntungan bagi beberapa orang. Di lain sisi, bersamaan dengan manfaat positifnya, terdapat juga banyak kontra yang menyertai.

Dan sisi negatif ini juga bukan sesuatu yang bisa kita anggap enteng. Karena, beberapa peneliti telah menemukan sejumlah gangguan mental yang disebabkan oleh peningkatan penggunaan internet dan teknologi oleh manusia. Berikut adalah gangguan mental yang harus Anda waspadai seperti dilansir dari laman Times of India.

Selfitis

Yang terakhir paling banyak disebutkan adalah selfitis. Gangguan mental ini dimulai sebagai sebuah lelucon daring di tahun 2014, American Psychiatric Association (APA) menciptakan istilah 'selfitis' sebagai gangguan mental baru bagi orang yang suka berswafoto dan membagikannya terus menerus secara daring.

Melompat ke tahun 2017, ternyata benar, selfitis diakui sebagai salah satu gangguan mental. Menurut sebuah laporan berjudul An Exploratory Study of 'Selfitis' and the Development of the Selfitis Behaviour Scale" yang diterbitkan di International Journal of Mental Health and Addiction, yang dilakukan oleh para peneliti Janarthanan Balakrishnan dari Thiagarajar School of Management di India dan Mark D Griffiths dari Nottingham Trent University di Inggris, ada kelompok faktor yang mendorong orang berswafoto secara terus menerus dan memberikan peringkat berdasarkan Skala Prilaku Swafoto.

Dari partisipan penelitian ditemukan, 25,5 persen kronis, 40,5 persen akut, dan 34 persen berada di perbatasan keduanya, dengan pria menunjukkan angka selfitis lebih tinggi dibandingkan wanita (57,5 persen dan 42,5 persen, masing-masing). Remaja di usia 16-20 tahun juga diketahui menjadi kelompok yang paling rentan, di mana 9 persen di antaranya berswafoto lebih dari 8 kali sehari, dengan 25 persen dibagikan setidaknya tiga dari foto itu ke media sosial.

Sindrom deringan ilusi

Ini adalah sesuatu yang terjadi hampir di semua orang, di mana orang menggapai ponselnya yang bergetar di saku hanya untuk melihat bahwa ponsel itu tidak menerima pesan apapun. Ya, seringnya dorongan ini terjadi disebut dengan sindrom deringan ilusi.

Meskipun gangguan ini bukanlah sindrom, tapi lebih baik dikarakterisasikan sebagai halusinasi taktil karena otak menganggap sensasi yang sebenarnya tidak ada. Menurut Dr Larry Rosen, 70 persen pengguna ponsel adiktif melaporkan pernah mengalami sindrom ini di saku mereka, dalam bahasa sehari-hari disebut dengan kecemasan deringan (ringxiety).

Efek Google

Belakangan, kebanyakan percakapan dalam pertemuan sosial pasti diawali dengan kalimat, "Saya pernah mencari di Google..." Inilah betapa penting dan integralnya mesin pencari di dalam kehidupan kita. Sangat besarnya pengaruh mesin pencari ini hingga dari kata benda menjadi kata kerja yang berarti mencari sesuatu secara daring.

Apa yang sudah secara tidak sengaja dibuatnya adalah mengondisikan pikiran manusia untuk mendapatkan informasi lebih sedikit karena mesin pencari itu tahu semua jawaban hanya dengan sekali klik saja. Riset menunjukkan bahwa akses tidak terbatas pada informasi menyebabkan otak kita menyerap lebih sedikit informasi.

Nomophobia

Gangguan mental ini adalah ketakutan irasional tidak bisa dekat dengan ponsel atau tidak bisa menggunakannya karena beberapa penyebab, seperti data internet habis, tidak ada sinyal, atau kehabisan baterai. Istilah ini merupakan kependekan dari 'no-mobile phobia' atau fobia tidak ada ponsel. Pertama kali diciptakan oleh organisasi riset yang berbasis di Inggris.

Studi selama satu dekade itu menemukan bahwa 53 persen dari pengguna ponsel merasa cemas ketika mereka tidak bisa menggunakan ponsel mereka, dan lebih dari setengah pengguna tidak pernah mematikan ponsel mereka, dan selanjutnya, angka tersebut terus meningkat sejak saat itu.

200 Ahli Kesehatan Mental Nyatakan Trump Tak Layak Jadi Presiden, Punya Gangguan Narsistik?

Gangguan ini bisa memberikan efek negatif yang sangat nyata pada kehidupan manusia, di manapun mereka tinggal, semurah dan semudah apapun akses ponsel saat ini. Jika Anda selalu siaga dengan notifikasi di ponsel atau terus menerus tanpa sadar meraih ponsel, sudah saatnya melakukan detoks digital.

Cyberchondria

Dukung Anak Muda Peduli ODMK, Triana Rahmawati Bangun Komunitas Griya Schizofren

Ini adalah kecenderungan untuk mempercayai bahwa Anda mengalami semua penyakit yang Anda baca secara daring. Sebut saja tipuan, kemalasan, salah informasi, atau reaksi berlebihan, sangat jelas kalau internet bisa memperparah perasaan hipokondria Anda, dan dalam beberapa kasus, menyebabkan kecemasan baru karena banyaknya informasi medis di sana tanpa konteks yang tepat.

Wakil Menteri Kesehatan (Kiri), Dante, Menko PMK (Tengah) Pratikno, Menkes (Kanan) Budi Gunadi Sadikin, Foto: Isra Berlian

100 Orang dirawat di RSCM Lantaran Judi Online, Menkes Minta Masyarakat Lakukan Ini

Dalam media briefieng online yag digelar oleh PB IDI Kamis kemarin, diungkap Krstiana bahwa pasien rawat jalan dua kali lipat dari angka pasien yang dirawat inap.

img_title
VIVA.co.id
9 November 2024