Tiga Faktor Pemicu Timbul Kelompok Anti Vaksin
- ANTARA/M Agung Rajasa
VIVA – Wabah difteri disebut-sebut terjadi karena adanya kelompok yang takut imunisasi. Kelompok itu disebut anti-vaksin. Ternyata, ini disebabkan oleh tiga hal dasar yang menimbulkan kekhawatiran imunisasi semakin menyeruak.
Dipaparkan Konsultan Infeksi Tropik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, Dr. dr. Hinki Hindra Irawan Satari, SpA(K), Cakupan imunisasi tiap kota hingga kecamatan di Tanah Air, tidak mencapai angka 80 persen. Menurutnya, kelompok anti-vaksin menjadi pemicu utama imunisasi semakin minim.
"Kalau dilihat per kabupaten, memang bagus hasilnya. Tapi, kalau dilihat per kecamatan per daerah, kelihatan bolong-bolong imunisasinya. Di suatu daerah biasanya ada provokatornya yang membuat cakupan imunisasi rendah, tidak mencapai 90 persen," ujar Hinki, kepada VIVA, ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.
Di kesempatan yang sama, spesialis anak dan konsultan, Prof. Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, SpA(K), menegaskan ada tiga hal yang memicu kelompok anti vaksin terbentuk. Ini bermula dari pola pikirnya yang ketakutan akan reaksi imunisasi pada anak.
"Satu, memang karena enggak mengerti, jadi takut anaknya sakit usai divaksin. Jadinya karena tidak tahu informasi, terkesan ikut-ikutan dengan omongan orang lain," paparnya.
Kemudian, ketakutan akan halal-haramnya suatu vaksin menjadi penyebab terbesar kaum anti-vaksin. "Tidak semua vaksin dari babi. Vaksin difteri ini dari racun kuman yang dilemahkan," ungkapnya.
Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI itu juga menjelaskan, faktor ketiga seseorang menjadi anti vaksin, disebabkan oleh trauma akan efek sampingnya. "Dulunya pernah ada anaknya yang kejang demam mungkin, jadinya takut lagi divaksin. Padahal, kalau konsultasi ke dokter, itu bisa ditangani."
Untuk itu, Prof Sri menegaskan pentingnya mengetahui persoalan vaksin untuk anak. Apalagi, jika manfaatnya lebih banyak untuk anak, sudah seharusnya orangtua memberikan imunisasi sebagai hak anak.