Strategi IDI Cegah Penyebaran Difteri
- ANTARA FOTO/Galih Pradipta
VIVA – Penyakit menular difteri mulai menyeruak dan mewabah. Sekitar 38 anak Indonesia meninggal dunia akibat kasus difteri. Tentunya, mesti dibentuk langkah pencegahan dalam meminimalisasi penyebaran difteri.
Menurut Riskesdas 2013, alasan keluarga tidak imunisasi anak karena ketakutan anak menjadi demam, sering sakit hingga repot membawa anak ke tempat imunisasi. Selain itu, kelompok yang menentang pelaksanaan imunisasi juga memiliki berbagai alasan lain. Tidak heran, lebih dari 600 anak dirawat karena difteri.
"Bayangkan, difteri membuat selaput putih anak muncul dan menyumbat tenggorokan hingga harus dibolongi tenggorokannya. Jantungnya juga bisa kena racun dari kuman yang sebabkan kematian. Ini harus dihentikan penyebarannya," ujar anggota Satgas Imunisasi IDAI, Dr. dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSi, dalam temu media di Kantor PB IDI, Jakarta, Senin 18 Desember 2017.
Mudahnya penyebaran difteri melalui percikan liur, serta fakta bahwa hampir tiga per empat anak tidak pernah dilakukan vaksin DPT, membuat kasus ini menjadi mewabah. Soedjatmiko menerangkan bahwa ada strategi besar untuk mencegah penyebaran difteri.
"Pertama, kalau sudah sakit, harus segera diisolasi serta tenaga kesehatan yang tangani kasus itu harus dapatkan imunisasi dan antibiotiknya. Selanjutnya, untuk menetapkan apakah anak memang difteri, harus periksa tenggorokan sendiri," paparnya.
Kemudian buka mulut anak, julurkan lidah, buka tenggorokan anak. “Lihat apakah ada selaput putih kotor. Ini langkah pertama," tuturnya.
Ia menegaskan agar masyarakat mengikuti ORI serta menelaah kembali imunisasi anak. Dipaparkannya, imunisasi lengkap pada anak harus mencapai hingga 8 kali.
"Vaksin lengkap itu kalau umur anak 1 tahun, sudah tiga kali DPT. Sampai 2 tahun, sudah empat kali, dan umur 5 tahun sudah lima kali suntik DPT. Di usia sekolah, berikan Bulan Imunisasi Anak Sekolah DPT sebanyak tiga kali. Totalnya menjadi delapan kali suntikan vaksin sebelum usia mencapai 16 tahun," ujarnya.