Benarkah PMS Hanya Mitos?
- Pixabay/pexels
VIVA – Premenstrual Syndrome (PMS) mempengaruhi hampir semua wanita pada titik tertentu dalam masa hidupnya.
Penderita PMS dapat mengalami kombinasi dari perubahan mood, kembung, nyeri payudara, dan dorongan seksual yang menurun.
Namun, dilansir dari laman The Independent, seorang psikolog wanita mengklaim bahwa semua itu hanyalah sebuah mitos. Ia berargumen bahwa PMS hanyalah contoh wanita modern yang berjuang dalam mengatur kehidupan mereka.
Robyn Stein DeLuca yakin bahwa wanita selama ini telah dibohongi oleh buku-buku, majalah, dan komunitas kesehatan, terkait dengan PMS dan gejalanya.
"Kita menginternalisasi gagasan tersebut bahwa pasti ada kesalahan di tubuh kita. Kemungkinan besar wanita merasa terbebani," ujar DeLuca dilansir laman Independent.
Menurutnya, banyak gejala yang wanita kaitkan dengan PMS, seperti kram, kembung, dan depresi, kemungkinan adalah tanda bahwa mereka hanya mendorong diri mereka terlalu kuat.
Mengatakan bahwa itu adalah PMS, sama saja seperti ungkapan 'keluar dari penjara dengan menggunakan kartu bebas'.
Dalam buku barunya yang provokatif, The Hormone Myth: How Junk Science, Gender Politics And Lies About PMS Keep Women Down, wanita ini mengungkap kesalahan dari mitos lama mengenai efek dari hormon wanita.
Meski DeLuca mengakui bahwa hormon bisa menyebabkan gejala tidak enak, tapi dia mengklaim bahwa gejala itu tidak cukup parah untuk menjadi penghalang, dan menambahkan bahwa setiap orang pada satu waktu akan merasakan hal itu.
Namun, Joyce Harper, profesor kesehatan wanita di UCL, sangat tidak menyetujui gagasan ini. "Perubahan hormon memengaruhi mood, itu bukan mitos," ujarnya.
Dia melanjutkan, sekitar 95 persen wanita mengalami PMS pada satu waktu. Dan wanita tidak merasa terbebani. Pendapat bahwa itu hanya bukti wanita modern yang berusaha di bawah tekanan untuk memiliki dan melakukan sesuatu, sangat tidak disetujuinya. Karena, wanita tidak menciptakan PMS.
Ini bukan yang pertama kalinya peneliti berspekulasi tentang kevaliditasan PMS. Teori serupa pernah beredar di tahun 2012 setelah studi kontroversial Gender Medicine mengklaim bahwa PMS tidak pernah ada.