Penggunaan Antibiotik pada Hewan juga Bisa Picu Resistensi
- www.pixabay.com/congerdesign
VIVA – Resistensi antimikroba menjadi tantangan besar kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO memperkirakan, resistensi antimikroba bisa menyebabkan kematian hingga 10 juta jiwa per tahun di dunia pada tahun 2050, jika masalah ini tidak diantisipasi dari sekarang.
Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mengatakan, terdapat tiga hal yang menyebabkan mikroorganisme seperti virus menjadi resisten. Yaitu, penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada penyakit nonbakterial, atau pasien yang tidak patuh atau tidak menjalani program terapi seperti dianjurkan dokter.
"Misalnya pasien kena infeksi bakteri, merasa sudah sembuh padahal sebenarnya belum, lalu berhenti minum antibiotik, akibatnya resisten," ujar Linda kepada VIVA di gedung Kemenkes Jakarta Selatan.
Kedua, penggunaan antimikroba yang tidak tepat pada hewan ternak. Antibiotik bukan untuk terapi kondisi kesehatan tapi untuk growth promotor. Ketiga adalah pembuangan limbah medis yang tidak tepat. Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, pembuangan kemasan vaksin yang sembarangan mendorong ide pembuatan vaksin palsu.
Pembuangan limbah antibiotik yang sembarangan ini juga bisa menciptakan resistensi lingkungan. Resistensi antimikroba pada lingkungan seperti pertanian dan hewan juga bisa sama seperti pada manusia.
Mikroorganisme yang resisten dan berkembang pada manusia juga bisa menyebar ke tanaman, lingkungan, hewan, bahkan menyebar hingga lintas negara. Karenanya, Linda menambahkan, pengendalian resistensi antimikroba ini memerlukan upaya holistik yang multisektoral dengan pendekatan One Health. Artinya, kesehatan manusia, hewan dan lingkungan mendapatkan satu intervensi yang menjadi satu kesatuan.