Skema Distribusi Obat Program JKN Perlu Ditata Ulang
- pixabay/pexels
VIVA – Skema pengadaan dan distribusi obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dinilai perlu ditata ulang. Hal ini mendesak dilakukan mengingat berbagai permasalahan timbul selama dijalankannya program JKN, dari mulai kualitas pelayanan relatif rendah, kekosongan stok obat tertentu, perlakuan diskriminatif, ketidaktransparan penentuan harga obat, ketidakmerataan layanan, hingga masalah defisit keuangan yang terus membengkak.
Luthfi Mardiansyah, ketua lembaga Center for Healthcare Policy and Reform Studies (CHAPTERS), menjelaskan permasalahan seputar pengadaan dan distribusi obat dalam program JKN menimbulkan persepsi publik bahwa kualitas program itu rendah.
“Banyak muncul keluhan di masyarakat tentang kekosongan pasokan obat tertentu karena perencanaan yang kurang baik dari program JKN,” katanya dalam sebuah diskusi dengan topik “Perlukah ditata ulang skema pengadaan obat JKN dan distribusi obat” di Jakarta, dalam siaran persnya 11 November 2017.
Selain itu, menurut dia, defisit pendanaan di program JKN membuat pembayaran klaim di rumah sakit jadi mundur, dan dampak lanjutannya pembayaran ke distributor obat menjadi tertunggak.
Penghitungan Tak Akurat
Sementara itu, Dono Widiatmoko, Tim Market Access International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), menambahkan secara umum sejumlah tantangan dalam pelaksanaan program JKN antara lain penghitungan kebutuhan obat tidak akurat. Dampaknya, industri farmasi kesulitan untuk menghitung harga dan menyiapkan produksi.
“Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan pemerintah tidak transparan dan nilainya terlalu rendah. Di sisi lain, disinyalir ada perusahaan yang sengaja menurunkan harga obatnya agar menang tender namun kemudian tidak dapat memenuhi kebutuhan program JKN,” katanya.
Dono juga menyoroti perencanaan proses lelang yang tidak terencana baik. Idealnya lelang obat dilaksanakan jauh hari sebelum masa tayang e-catalog dimulai. Tahun lalu saja proses lelang hingga kontrak pengadaan obat di program JKN mundur dari Januari hingga April, ini menyebabkan kekosongan stok obat di rumah sakit.
“Kekosongan pasokan obat dapat sewaktu-waktu terjadi di daerah karena pemenang tendernya hanya 1 perusahaan. Di sisi lain, jadwal tender juga tidak tepat waktu,” papar Dono.
Selain itu, lanjut dia, tidak semua obat dalam formularium nasional (Fornas) tercantum dalam e-catalog. Akses pada e-katalog/e-purchasing juga terbatas pada rumah sakit milik pemerintah. Obat-obatan untuk JKN dijual kembali oleh rumah sakit untuk pasien reguler.
“Itu tantangan-tantangan yang perlu kita tata ulang secara bersama-sama,” ucap Dono. (ren)