Penyebab Dwi Hartanto "The Next Habibie" Berbohong
- Dokumentasi Pribadi Dwi Hartanto
VIVA.co.id – Belakangan jagat maya serta sejumlah media dibuat geger dengan pengakuan seorang pemuda bernama Dwi Hartanto yang merupakan mahasiswa doktoral di Technische Universiteit Delft, Belanda. Akhir 2016 lalu, Dwi mengaku memiliki segudang prestasi di bidang antariksa. Bahkan karena kebohongan prestasinya itu ia sempat dijuluki The Next Habibie atau Penerus Habibie.
Namun, belum lama ini Dwi mengakui jika semua prestasi yang pernah disebutkannya itu bohong belaka. Dwi kemudian menuliskan klarifikasinya sepanjang lima halaman yang dimuat dalam situs ppidelft.net.
Dengan terungkapnya kebohongan besar yang dilakukan Dwi, banyak orang kemudian bertanya-tanya kenapa ia bisa melakukan hal seperti itu. Apakah Dwi mengalami kondisi psikologis tertentu sehingga bisa dengan lancar menyatakan berbagai hal yang tidak ada kebenarannya?
Psikolog Ajeng Raviando mengatakan, untuk dapat memastikan apakah Dwi mengalami kondisi psikologi seperti pathological liar atau mythomania, harus ada pemeriksaan mendalam terlebih dahulu. Barulah bisa ditegakkan satu diagnosis bahwa Dwi mengalami gangguan psikologis.
"Selama ini informasi mengenai kebohongannya hanya berdasarkan yang ada media-media. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang jadi berbohong," kata Ajeng saat berbincang dengan VIVA.co.id.
Ajeng melanjutkan, ada beberapa tujuan yang mendasari seseorang berbohong. Di antaranya ingin mendapat pengakuan, menghindari hukuman, merasa ada keuntungan yang didapat ketika berbohong, atau untuk mendapatkan kepercayaan diri, misalnya ketika berbohong dia merasa lebih dianggap keren.
Dalam kasus Dwi, Ajeng melihat ada kesempatan tertentu yang dilihat Dwi sehingga melakukan kebohongan. Misalnya, jika dia mengaku suatu hal, dia akan menarik perhatian, atau bisa dapat pengakuan.
"Pada intinya dia merasa dengan berbohong dia akan mendapatkan keuntungan dibanding bicara mengenai dirinya apa adanya. Itu harus disikapi bagaimana pun kita harus bangga dengan diri kita," imbuh Ajeng.
Untuk itulah perlunya punya jatidiri. Jika mengakui prestasi yang bukan milik kita, maka kita harus siap dengan sanksi sosial yang akan didapat. Seperti dilecehkan, dimusuhi, atau tidak punya teman.