Wartawan Juga Berisiko Terkena Gangguan Mental
- ANTARA/Sahrul Manda Tikupadang
VIVA.co.id – Belakangan publik dunia maya Indonesia sempat dihebohkan dengan komentar Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Prabowo Subianto, yang menyebut rendahnya gaji wartawan di Indonesia. Bahkan, Prabowo juga menyebut bahwa banyak wartawan Indonesia yang tidak mampu belanja ke mal.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta pada Mei 2016, pernah merilis bahwa survei upah layak untuk para wartawan baru ialah Rp7,54 juta. Namun, nyatanya masih banyak wartawan di Indonesia yang masih mendapatkan bayaran di bawah upah layak tersebut.Â
Persoalan upah yang masih kurang layak bukan persoalan satu-satunya bagi pekerjaan wartawan. Profesi sebagai wartawan, ternyata juga rentan akan depresi yang berujung pada gangguan kesehatan mental.Â
Dalam penelitiannya, Gretchen Dworznik, asisten profesor jurnalistik dari School of Journalism and Mass Communication di Universitas Kent pada 2011, yang berjudul 'Factors contributing to PTSD and compassion fatigue in television news workers,’ menunjukkan bahwa 80 persen-100 persen jurnalis mengalami kejadian traumatis terkait dengan pekerjaannya. Seperti kecelakaan mobil, kebakaran, pembunuhan, kerusuhan massal, peperangan hingga bencana.Â
Konten traumatik yang terkait dengan pekerjaan wartawan, menurut Anthony Feinstein, profesor bidang psikiatri dan neuropsikiatri dari Universitas Toronto dalam penelitiannya 'Witnessing images of extreme violence: a psychological study of journalists in the newsroom', juga dapat secara tidak langsung dikonsumsi melalui gambar kekerasan dan / atau cuplikan video, sehingga banyak jurnalis mungkin sering terpapar, berulang, dan berkepanjangan.
Sebagian besar jurnalis mungkin mampu bertahan meskipun berulang kali mengalami kejadian traumatis terkait pekerjaan. Hal ini dibuktikan dengan tingkat gangguan stres posttraumatic (PTSD) yang relatif rendah dan gangguan kejiwaan lainnya.
Namun, minoritas yang signifikan berisiko mengalami masalah psikologis jangka panjang, termasuk PTSD, depresi, dan penyalahgunaan zat.
"(Terlebih) peristiwa yang melibatkan kematian, kekerasan, dan penderitaan manusia, terutama saat kejadian ini melibatkan anak-anak," kata Elana Newman, profesor psikologi dari University of Tulsa sekaligus dan direktur penelitian di Dart Center dalam jurnal Visual Communication Quarterly dilansir dari laman dartcenter, Senin 21 Agustus 2017.Â
Lebih jauh, Feinstein juga mencatat bahwa, tingkat kemungkinan seorang wartawan mengalami tingkat gangguan stres posttraumatic berkisar antara 4 persen-59 persen. Sedangkan untuk yang mengalami depresi dari 1-21 persen.
Tidak hanya itu, penyalahgunaan zat terlarang juga banyak ditemukan  pada koresponden perang, atau sebesar 14 persen. Sementara itu, untuk para jurnalis yang terpapar konten kekerasan juga dilaporkan menggunakan alkohol berlebih, 15,4 persen pada pria dan 17,4 persen pada perempuan.
Untuk itu penting, agar organisasi media mengidentifikasi faktor risiko tersebut dan terlibat untuk mengurangi risiko kerja yang terkait dengan gangguan mental.
Salah satunya dengan mendidik wartawan tentang risiko psikologis yang terlibat dalam pekerjaan mereka, mengurangi frekuensi dan intensitas pemaparan pada tugas berita traumatis, dan menyediakan sumber daya yang sesuai untuk mengatasi korban emosional dari tugas ini. (asp)