Pengobatan Tradisional dan Bahaya Malapraktik
- http://www.frontroll.com
VIVA.co.id – Penggunaan pengobatan tradisional di kalangan masyarakat tumbuh menjamur. Hampir di setiap sudut jalan, atau kampung-kampung, bahkan hingga ke mal, praktik pengobatan alternatif ini mudah sekali ditemui.
Model pengobatannya berbagai macam, mulai dari pijat, bekam, akupuntur, ramuan, hingga menggunakan media tenaga dalam.
Tak ada yang salah dengan pengobatan tradisional. Sejak dahulu, pengobatan model ini sudah digunakan turun-temurun. Pengobatan alternatif cukup banyak dipilih masyarakat, karena dianggap lebih murah dan tidak ada efek samping. Tak mengherankan, jika masyarakat masih berbondong-bondong datang ke pengobatan tradisional.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013, mencatat bahwa 69,6 persen rumah tangga dari total penduduk Indonesia masih memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional. Sementara itu, 77,8 persen di antaranya memilih pengobatan tradisional tanpa alat, dan 59,12 persen memilih mengonsumsi ramuan racikan sebagai pengobatan.
Ada banyak alasan warga memanfaatkan pengobatan tradisional. Menurut data Riskesdas 2013, ada enam alasan utama mengapa banyak orang yang memilih pengobatan tradisional. Sebanyak 38 persen masyarakat mengaku ke pengobatan tradisional karena tradisi, 20 persen karena coba-coba, 12 persen percaya akan khasiatnya.
Kemudian, ada 11 persen masyarakat yang datang ke pengobatan tradisional karena alasan menjaga kesehatan, 10 persen mengaku putus asa dengan penyakitnya, dan sisanya (sembilan persen) karena menganggap biayanya lebih murah.
Namun, belakangan ini banyak praktik pengobatan tradisional yang menjanjikan kesembuhan dari berbagai macam penyakit dengan metode sederhana dan minim risiko. Nyaris seperti sulap, ragam penyakit yang ringan hingga berat pun diklaim dapat disembuhkan. Tanpa disadari, ada “bahaya” yang mengintip dari pengobatan yang umumnya berbiaya murah ini, yaitu praktik penipuan hingga malapraktik yang berujung jatuhnya korban jiwa.
Selanjutnya, dari pengobatan mata sampai chiropractic>>>
Dari pengobatan mata sampai chiropractic
Pengobatan tradisional dipilih warga, karena sejumlah alasan. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar, alasan terbesar justru karena tradisi. Itulah sebabnya sejumlah pengobatan tradisional banyak dicari orang. Meski, tak begitu yakin akan kemanjurannya dan biayanya juga tak bisa dibilang murah. Satu lagi contoh pengobatan tradisional yang masih banyak dicari adalah pengobatan mata tanpa operasi.
Penyembuhan mata tanpa operasi menjadi salah satu pengobatan tradisional paling. Ini diduga berkaitan dengan meningkatnya angka pengguna gadget yang mengurangi kualitas penglihatan. Ketakutan menghadapi meja operasi juga menjadi alasan mengapa banyak orang yang mau berkunjung ke tempat ini. Salah satu tempat pengobatan mata tanpa operasi Btrang yang ada di kawasan Lenteng Agung.
Rumah sehat yang buka sejak pukul delapan pagi sampai lima sore ini tidak pernah sepi pengunjung. Apalagi, sejak iklan penayangannya muncul di televisi beberapa tahun silam. Satu jam sebelum buka, sudah ada lima klien yang mengantre.
Ahmad Solihin (36) salah satunya. Ia rela mengantre sejak pagi, demi pengobatan anaknya.“Ramai banget, apalagi kalau jam 10 itu banyak yang mau diterapi,” ujarnya kepada VIVA.co.id beberapa waktu lalu.
Solihin menceritakan, putrinya akhir-akhir ini mengeluh pengelihatannya buram. Setelah diperiksa ke optik, kualitas matanya menurun sehingga mengalami minus. Alih-alih datang ke dokter, pria ini lebih menginginkan anaknya sembuh secara alami. Ia pun datang ke klinik ini.
Ketika rumah sehat dibuka, setiap klien duduk di kursi terapi masing-masing. Rumah sehat ini memang tidak begitu besar, namun dalam satu ruangan bisa memuat enam kursi yang disediakan untuk terapi dan beberapa kursi di ruang tunggu. Antara ruang tunggu dan ruang praktik hanya dibatasi dengan tirai berwarna biru.
Ketika datang dan mendaftar pasien akan dipanggil satu-satu untuk masuk ke dalam tirai. Setelah itu, dilakukan pengobatan dengan cara pijat di sekitar area mata dan kepala. Tak ada penyehat khusus yang menangani pengobaan tersebut, hanya beberapa terapis junior yang menangani klien. Kemudian, klien akan diteteskan obat tetes mata dan obat semprot dua kali. Setelah itu pasien akan dipasangkan alat pemijat berupa kacamata akupuntur. Saat menggunakannya tidak terasa seperti tusukkan, namun lebih mirip pijat mata elektronik.
Terapi dilakukan kurang lebih 10 menit, kemudian klien akan dimintai ongkos 50 ribu sebagai uang pendaftaran. Selanjutnya klien akan ditawarkan untuk membeli paket obat tetes mata yang harganya mencapai Rp1.700.000, harga yang fantastis untuk satu paket obat tetes mata yang isinya hanya satu botol ukuran 100 mililiter obat tetes, satu botol obat semprot mata, dan satu botol kapsul untuk diminum. Banyak juga klien yang memutuskan untuk membeli obat tetes mata itu.
Ferri (38) salah satunya. Ia mengaku mengatar ayahnya yang menderita katarak untuk berobat. Ini kali keempat Feri datang bersama sang ayah, satu paket telah dihabiskan. Namun, bukannya terjadi kesembuhan, mata ayah Ferri malah bertambah buram.
Sejak awal, Ferri mengaku memang tidak ingin mendatangi pengobatan tradisional. Ia tahu yang bisa menyembuhkan mata ayahnya hanya operasi. Namun, sang ayah memaksa ingin disembuhkan dengan pengobatan tradisional. “Bapak saya yang ingin ke sini. Saya sudah bilang, kalau pengobatan ini enggak menjamin,” ujarnya.
Klinik Btrang tersebut berasal dari Malaysia. Nur Ikhwan (47), salah satu agen utama yang telah lama berjualan produk ini pun mengungkapkannya.“Btrang itu asalnya dari Malaysia, yang punya juga orang Malaysia. Dulunya tabib dari Malaysia, buka praktik di Indonesia (kantor pusat Depok) terus dilanjutkan sama orang lokal, ada agen-agen yang buka praktik,” ujar Nur Ikhwan.
Nur Ihwan juga mengungkapkan bahwa Btrang tidak hanya di Tanjung Barat, tetapi juga memiliki banyak cabang di Jakarta dan luar Jakarta. “Outletnya tersebar di Jakarta (Matraman, Jatinegara, Tanjung Barat), Depok (Margonda), Bandung, Bekasi (dua outlet), dan di Kudus (Jawa Tengah). Sekarang kantor pusatnya di Tanjung Barat, bentuk outletnya dan tempat praktik biasanya berupa ruko-ruko kecil,” ungkapnya.
Yang mengejutkan, ternyata produk tetes mata Btrang tersebut diproduksi sendiri, bukan produksi skala pabrik, dan tanpa izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). “Untuk izin lokalnya belum ada. Izinnya sudah pernah kita urus sepanjang dua tahun, tetapi selalu dimentahkan, ditolak, sulit urus izinnya karena produk luar. Makannya sampai sekarang kami masih bertahan dengan izinnya BPOM-nya Malaysia, izin ASEAN, dan ada logo halalnya dari MUI Malaysia juga,” kata dia.
”Jadi ini obat aman. Bukannya enggak mau diurus, pasti kami dipersulit, enggak bakalan dikasih. Satu-satunya yang punya izin itu kapsulnya aja, karena di produksi di Bogor, bukan Malaysia.” Soal izin praktek, setiap outlet memegang salinan berupa fotokopi izin Dinkes. Namun, izin tersebut dibuat hampir belasan tahun silam dan belum pernah diperbarui.
Lebih lanjut, Nur Ikhwan menjelaskan bahwa setelah banyak buka cabang, si tabib dari Malaysia kembali negaranya dan penjualan difokuskan pada agen-agennya. “Setiap agen itu ownernya beda-beda. Izin Dinkesnya sampai sekarang belum di-update, harusnya memang per lima tahun. Semenjak orang Malaysia itu balik ke negaranya, semua izin ditarik dan kami mengurus izin sendiri.”
Untuk bahan baku obat, Nur Ikhwan mengaku bahwa bahan baku obat dikirim langsung dari Malaysia. “Produk kami ambil langsung dari Malaysia. Salah satu yang membuat produk ini enggak bisa ditemui di sembarang tempat itu, karena sulit untuk membawanya ke Indonesia, selalu terkendala Bea Cukai. Jadinya kami bawa dari Malaysia, dalam bentuk galonan dan dikemas di sini (Jakarta). Pengemasannya dimasukkan ke botol, kotak yang juga kita produksi, dan press plastik itu sendiri. Untuk logo, si agen bisa request logo PT-nya dan mencantumkan nomor kode produksi. Artinya, perusahaan itu sudah kerja sama dengan Btrang,” ujarnya.
Khusus untuk yang botol dan kapsul itu, Nur Ikhwan mengaku produksinya dari Bogor. “Tempat pengemasannya memang tidak berbentuk pabrik, dan masih manual. Tetapi, steril kok.”
Selanjutnya, jadi perbincangan>>>
Jadi perbincangan
Soal pengobatan tradisional juga sempat menjadi perbincangan, setelah terjadi insiden meninggalnya Allya Siska Nadya, Agustus 2015. Wanita 32 tahun ini meninggal, setelah menjalani terapi Kiropraktik. Terapi ini berpusat pada penyembuhan tulang belakang, dengan cara menarik, mendorong, dan memutar tulang belakang memakai tangan.
Baru dua kali Sisca menjalani terapi di Klinik chiropractic di Pondok Indah Mal, Jakarta Selatan. Terapis pemilik rumah sehat tersebut juga adalah seorang dokter warga negara asing bernama Randall Caferty. Namun, nahas setelah membayar belasan juta, nyawa Siska justru melayang.
Alfian Helmy Hasjiim, ayah siska mengatakan, terapi itu dikerjakan langsung oleh Randall. Ia terkejut melihat terapi singkat terhadap anaknya. “Siska ditengkurepin, terus si Randall ngangkat kepala Siska dan di putar ke kiri, ke kanan, kretek, kretek. Lalu, diambil dipinggulnya, putar ke kiri, ke kanan. Prosesnya paling lima menit saja,” ujar mantan Wakil Direktur Komunikasi PT PLN kepada VIVA.co.id.
Malam hari usai terapi, kata Alfian, Siska meringis kesakitan pada bagian lehernya. Ia pun langsung dilarikan ke unit gawat darurat di RSPI pada tengah malam itu. Berdasarkan catatan medis tim dokter di RSPI, Siska mengalami kesemutan pada bagian leher hingga lengan dan bagian belakang lehernya membengkak. Diduga ada pembuluh darah yang pecah. Siska sempat kehilangan kesadaran dan denyut jantungnya melemah. Keesokan harinya, Siska dinyatakan sudah tiada. Gara-gara kasus Siska, izin praktik klinik chiropractic diperiksa. Usut punya usut, klinik itu tak berizin. Setelah kasus Siska itu ditangani polisi, klinik chiropractic itu tutup.
Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Kementerian Kesehatan dra. Meinarwati mengkritik perilaku masyarakat yang kerap mengabaikan aspek legalitas dari pengobatan tradisional. “Masayarakat Indonesia yang pergi ke penyehat tradisonal banyak sekali tanpa melihat dia berizin, atau tidak,” kata dia. “Jika pengobatan tersebut gagal, mereka bilang itu takdir. Padahal, itu juga masuk malapraktik.”
Meinarwati menambahkan, pemerintah sudah mengatur soal pengobatan tradisional itu melalui Peraturan Pemerintah No. 103 tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional. Sebelumnya, juga ada Peraturan Menteri Kesehatan No. 1076 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan tradisional. Peraturan pemerintah dan peraturan menteri itu mengatur soal pengobatan tradisional apa saja yang dibolehkan, larangan-larangannya, serta perizinannya.
Ada empat jenis pengobatan tradisional yang disebutkan dalam peraturan itu: Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris; Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer; dan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi.
Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris adalah pelayanan yang ilmu, atau keahliannya didapatkan secara turun temurun, sehingga belum ada bukti ilmiahnya. Misalnya, keahlian yang didapatkan karena keturunan orangtua, atau didapatkan melalui kursus-kursus. Tenaga terapinya disebut Penyehat Tradisional (Hattra). Mereka ini hanya boleh melakukan upaya promotif prefentif, yaitu menjaga kesehatan dan stamina dan tidak bersifat menyembuhkan.
Sedangkan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer menerapkan kesehatan tradisional yang memanfaatkan ilmu biomedis dan biokultural, serta manfaat dan keamanannya terbukti secara ilmiah. Berbeda dengan empiris, pelayanan ini dilakukan oleh tenaga ahli yang disebut sebagai Tenaga Kesehatan Tradisional (Nakestrad). Para Nakestrad ini wajib memiliki pendidikan minimal D3 sesuai dengan kelimuan pengobatan tradisional yang ia ambil.
Sedangkan Pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi adalah pelayanan yang diintegrasikan ke pengobatan konvensional, misalnya, akupuntur, akupressure yang ada di puskesmas, atau herbal medik di rumah sakit.
Peraturan Pemerintah No 103 tahun 2014 juga menyebutkan bahwa untuk membuka pelayanan kesehatan tradisional, dibutuhkan surat izin. Untuk Pelayanan Empiris dan para Hattra, misalnya, harus mengantongi izin Dinas Kesehatan dan STPT (Surat Terdaftar Penyehat Tradisional). Untuk Nakestrad, harus mengantongi STRTKT (Surat Tanda Registrasi Tenaga Kesehatan Tradisional) dan SIPTKT (Surat Izin Praktik Tenaga Kesehatan). Masa berlaku surat surat izinnya hingga dua tahun.
Meinarwati menyayangkan masyarakat lebih percaya pada tenaga medis asing. Padahal, Peraturan Pemerintah No 103 melarang mereka memberikan pelayanan kesehatan tradisional empiris di Indonesia. “Orang Indonesia selalu menganggap bahwa orang asing itu lebih pintar daripada kita. Padahal, tidak semua tenaga asing seperti itu. Contohnya kasus Allya Siska, atau misalnya pengobatan mata India, TCM (traditional chinese medicine). Itu semua tanaga asing,” ujar Meinar.
Polisi pernah menggrebek klinik tradisional herbal India, untuk pengobatan mata dan telinga di Jl. Raya Semampir Surabaya, 29 April 2017. Klinik milik keturunan orang India itu ternyata sudah beroperasi sejak 2002. Polisi menggerebeknya, karena klinik itu berpraktik tanpa memiliki izin dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
Jumlah tenaga penyehat tradisional, dan Pelayanan Kesehatan Tradisional, tergolong cukup banyak. Data Riset kesehatan dasar 2013 menyebutkan bahwa tercatat Penyehat Tradisional (Hattra) di Indonesia berjumlah 89.554 orang, sedangkan yang berizin baru mencapai 2.640 orang.
Ketua Umum Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia (ASPETRI), Tengku M. Sanusi setuju ada penertiban terhadap pelayanan kesehatan tradisional. “Memang ini baik untuk upaya penertiban, karena penyehat tradisional ini jumlahnya banyak sekali, yang tidak berizin juga banyak. Makanya ada PP 103 itu. Tetapi, anggota kami juga banyak yang protes karena ada beberapa aturan yang merugikan, seperti tidak boleh beriklan dan lain-lain,” kata Tengku, saat ditemui VIVA.co.id beberapa waktu lalu.
Tengku menyatakan perlu waktu untuk memberi penyuluhan dan sosialisasi kepada anggotanya. Ia menilai banyak penyehat yang merasa untuk melakukan pengobatan tradisional itu tidak perlu izin. “Padahal, semua itu sudah diatur sama pemerintah. Bahwa penyehat dilarang membuka praktik pengobatan apapun tanpa izin dinkes. Mereka itu kurang edukasi, dan kurang sosialisasi. Untuk mendapat izin Dinkes itu tidak mudah.Tidak hanya butuh usaha, tetapi juga persetujuan dari beberapa pihak. Kalau tidak, ya artinya illegal,” ujarnya.
Meski sudah aturan soal pengobatan tradisional, problem lainnya adalah soal penegakan hukumnya. Soal ini, Kementerian Kesehatan mengandalkan dinas kesehatan setempat. “Enggak mungkin Kemenkes turun sendiri, pasti lewat dinas. Mereka yang memberi izin, mereka juga yang harus menutup. Tugas kami hanya membuat kebijakan, mengatur,” tambah Meinar. (asp)