Puasa 19 Jam di Musim Panas, Berbahayakah?
- Pixabay/Serdar_A
VIVA.co.id – Puasa di bulan Ramadan menjadi bagian dari Rukun Islam yang wajib dikerjakan umat muslim. Puasa wajib ini berlangsung sejak Subuh hingga Magrib selama sebulan penuh. Lamanya waktu puasa umat muslim berbeda-beda, tergantung lokasi dan musim saat menjalankan ibadah tersebut.
Umumnya, negara-negara di daerah khatulistiwa seperti Indonesia memiliki rentang waktu berpuasa yang sama setiap tahun, antara 13-14 jam per hari. Sedangkan di belahan bumi yang memiliki empat musim, waktu puasa Ramadan bisa sangat pendek atau sangat panjang.
Sebagai contoh puasa Ramadan di negara-negara Eropa. Sejak 2012 waktu puasa Ramadan cukup panjang karena bertepatan dengan musim panas. Puncak musim panas yang bersamaan dengan Ramadan terjadi pada 2014 dan 2015. Lamanya waktu berpuasa di salah satu negara Eropa, Jerman, ketika itu bisa mencapai 19 jam per hari. Tahun ini, Ramadan di Eropa kembali bertepatan dengan musim panas.
Rentang waktu menahan diri untuk tidak makan dan minum di musim panas tentu menimbulkan berbagai pertanyaan. Apakah aktivitas religius ini membahayakan kesehatan atau bahkan dapat mengancam jiwa pelakunya? Dikutip dari rilis yang diterima VIVA.co.id, sekelompok ilmuwan dari Hannover Medical School tertantang meneliti puasa Ramadan yang terlihat ekstrem dalam pandangan masyarakat setempat.
Penelitian melibatkan 50 partisipan, terdiri 25 orang kelompok yang tidak berpuasa dan 25 orang kelompok berpuasa. Pengambilan data dilakukan pada empat titik waktu, yakni seminggu sebelum puasa Ramadan, pertengahan Ramadan, hari terakhir Ramadan dan seminggu setelah Ramadan.
Studi ilmiah yang dipimpin Boya Nugraha dari Hannover Medical School membuktikan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara mereka yang berpuasa dan tidak berpuasa dengan membandingkan beberapa parameter. Antara lain rasa lelah, suasana hati (mood), dan rasa mengantuk seminggu sebelum puasa dan seminggu setelah berpuasa.
Komposisi tubuh seperti berat badan, massa otot, dan massa lemak di antara dua kelompok di akhir Ramadan juga hampir serupa. "Artinya, puasa Ramadan saat musim panas di Jerman tidak berpengaruh banyak terhadap tubuh," ucap Boya.
Peneliti juga menguji kadar kreatinin untuk melihat kondisi kesehatan ginjal pada kedua kelompok. Hasilnya tidak terdapat perbedaan mencolok di kelompok berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Yang berarti puasa Ramadan masih dalam batas toleransi bagi kesehatan ginjal.
"Kesimpulan kami, puasa pada musim panas masih dalam batas toleransi tubuh, bahkan memberi manfaat positif seperti mood yang membaik dan berkurangnya rasa lelah setelah berpuasa. Tentu saja, keuntungan utama berpuasa adalah Insya Allah mendapat pahala dari Allah SWT," ujarnya.
Riset bertajuk "Effect of Ramadan fasting on fatigue, mood, sleepiness, and health-related quality of life of healthy young men in summer time in Germany: A prospective controlled study" tersebut dipublikasikan dalam jurnal internasional Appetite April 2017.
Meski secara umum tidak terlihat perbedaan antara mereka yang berpuasa dan tidak berpuasa, riset puasa menemukan beberapa hal positif berkat puasa Ramadan. Mereka yang berpuasa menyatakan cenderung merasakan kelelahan berkurang, suasana hati yang membaik serta berkurangnya rasa mengantuk. Hal ini dirasakan terutama di akhir Ramadan dan satu minggu setelah Ramadan dibandingkan saat sebelum berpuasa.
Faktor-faktor komposisi tubuh juga memperlihatkan hasil sejalan. Peneliti menemukan adanya penurunan berat badan dan massa otot pada kelompok yang berpuasa. Penurunan berat badan dan massa otot terjadi terutama di akhir Ramadan jika dibandingkan sebelum Ramadan. Namun, seminggu setelah Lebaran massa otot akan kembali seperti sebelum Ramadan.