Mengenal Generasi Z, Anak-anak 'Pemakan Kuota'
VIVA.co.id – Saat ini , hampir tidak ada anak-anak yang luput dari demam gadget. Di tangan mereka selalu ada smartphone, jarinya tak lepas dari keypad, dan di telinga mereka terselip headset.
Seakan menjadi permasalahan setiap orangtua, penggunaan gadget dan akses internet yang berlebihan seringkali membuat orangtua merasa khawatir. Tidak hanya soal kecanduan, namun orangtua seringkali tidak memahami aktivitas anak-anaknya di dunia maya.
Anindita misalnya, full time mom ini memiliki anak usia 13 tahun bernama Amara yang baru mengenal gadget. Anindita mengaku memberikan anaknya smartphone sejak Amara berulang tahun ke 11.
“Waktu itu Amara yang minta, ayahnya sempat enggak boleh, tapi saya pikir mungkin perlu juga,” ujar Anindita kepada VIVA.co.id, Sabtu 14 januari 2017.
Anindita mengaku, ingin tetap terhubung dengan putrinya misalnya saat di sekolah atau ketika sedang bersama teman-temannya.
“Sejak usia 10 tahun, Amara mulai banyak temannya. Aktivitasnya sering di luar apalagi dia ikut les sejak tahun lalu jadinya saya pikir dia perlu pegang Hp, minimal saya bisa tahu dia lagi di mana,” ungkap Anindita.
Fasilitas ponsel yang diberikan Anindita pada Amara bukanlah smartphone yang mumpuni, hal tersebut dipilih Anindita untuk menghindari penggunaan yang berlebihan sehingga membahayakan putrinya. Namun, beberapa waktu belakangan Anindita mengaku banyak perubahan yang terjadi pada putrinya, apalagi sejak Amara masuk SMP.
“Sejak masuk SMP Amara mulai minta dibelikan Hp yang canggih seperti teman-temannya, meskipun Hp-nya nggak support, Amara tetap bisa mengakses media sosial dari laptop papanya, tablet papanya juga. Dia mulai bikin akun facebook, buka buka YouTube, sampai habis kuota buat download aplikasi, buat nonton YouTube. Padahal nggak ada yang ngajarin, Amara belajar sendiri,” ujarnya.
Yang mengherankan bagi Anindita adalah sikap Amara yang sekarang terlihat gandrung dengan internet.
“Sekarang dia mah pinter banget, apa aja bisa, kadang saya suka kewalahan kalau dia mulai bahas internet, artis-artis di YouTube, dia juga bisa teleconference sama teman-temannya. Ini saya juga baru bisa Skype karena di ajarin Amara,” ujarnya.
Permasalahan Anindita mungkin dihadapi banyak orangtua lain, memahami perilaku anak yang menggandrungi teknologi seakan tidak ada habisnya.
Sebelum perangkat digital mendominasi, anak berinterikraksi berbeda. Mereka bermain setelah pulang sekolah atau ke mall. Sekarang, anak menatap layar ponselnya, dan mengacuhkan orang-orang di sekitarnya. Sekarang anak-anak mudah terhubung dengan apapun. Sebuah survei menyebutkan bahwa kini, 90 persen anak-anak menghabiskan waktunya lima jam sehari hanya untuk berselancar di dunia maya.
Segala upaya dilakukan orangtua, misalnya mempelajari internet dan segala aplikasinya termasuk terjun di media sosial agar jadi orangtua yang istilahnya ‘nggak gaptek-gaptek (gagap teknologi) amat’, namun yang terjadi tetap saja kalah cepat dengan anak-anak yang mudah sekali mengikuti derasnya arus teknologi, mulus tanpa hambatan. Mengapa demikian?
Beberapa pakar menyebutkan bahwa kondisi tersebut terjadi karena ada batasan generasi antara orangtua dan anak. Sebutannya bagi orangtua adalah generasi X, Y dan anak-anak adalah generasi Z.
Mengenal Generasi Z
Mereka yang disebut sebagai generasi Z (gen Z) ini adalah generasi yang lahir antara tahun 1994 sampai tahun 2009 yang kini berusia 12-22 tahun.
Menurut psikolog Elly Risman, Psi, dari Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH), Jakarta, gen Z adalah anak-anak yang sejak lahir sudah akrab dengan teknologi. Artinya, teknologi sudah menjadi bagian dari hidup mereka sejak mereka lahir ke dunia. Jadi, jangan heran jika anak-anak dari gen Z sangat mahir menggunakan teknologi apa pun.
Generasi ini berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, seperti generasi Baby Boomers (lahir 1946 – 1964), generasi X (lahir 1965 – 1980) dan Y (lahir 1981 – 1995). Perbedaan paling tampak adalah ketertarikan gen Z kepada perangkat gadget di usia yang masih sangat muda.
Gen Z adalah generasi yang banyak mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi, bermain, dan bersosialisasi. Perbedaannya dengan generasi sebelumnya, tingkat kepedulian gen Z ini masih lebih rendah dari gen X dan Y karena selalu terpaku pada layar ponselnya. Namun, proses belajar gen Z jauh lebih cepat dari generasi sebelumnya.
Amara (13) salah satu siswi SMP di Jakarta menceritakan bahwa ketertarikannya terhadap internet dimulai sejak usianya 9 tahun, waktu itu salah seorang temannya mengajaknya main game online yang di download lewat aplikasi gratis. Kemudian ia mendapatkan gadget pertamanya saat ulang tahun yang ke 11.
“Waktu itu gamenya seru-seru terus gratis, abis itu nonton YouTube pertama kali buat bikin slime (mainan anak-anak) sama teman-teman. Soalnya dari YouTube bisa tahu macam-macam, misalnya nonton konsernya One D (One Direction), Big Bang, Selena Gomez,” ujar Amara sambil menyebutkan deretan artis kesukaannya.
Amara mengaku, lewat internet ia bisa mengetahui banyak hal. Bahkan segala yang ingin ia ketahui bisa dicari lewat internet.
“Mbah Google bisa tahu apa saja. Aku kan anaknya kepo (penasaran) jadi ingin tahu macam-macam, di YouTube ada semua yang aku cari. Semua konser artis-artis luar, bisa dilihat di YouTube.Bikin kita lebih kreatif, pintar,” ujar Amara.
Gemar Belanja Online
Selain terobsesi dengan gadget dan internet, gen Z merupakan generasi yang konsumtif. Hal itu diakibatkan tidak terbatasnya arus informasi yang diterima dan kemudahan berbelanja, sehingga membuat generasi Z selalu up to date terhadap produk-produk baru.
Menurut catatan Ivan Sudjana M.Psi., Dosen Fakultas Psikologi UI, gen Z merupakan generasi yang sangat melek digital. Bisa dikatakan mereka adalah pengguna terbesar media sosial yang juga sangat konsumtif.
"Menyoroti generasi milenial yang sangat konsumtif ini tidak bisa dipisahkan dari kemudahan mereka untuk berbelanja. Sebab, mereka berpikir dan memiliki persepsi bahwa uang itu mudah dicari," ujar Ivan kepada VIVA.co.id beberapa waktu lalu di Jakarta.
Selain itu gen Z ini juga menjadi target pasar yang sangat potensial. Berdasarkan data yang didapat dari obrolan di Twitter yang dilakukan Provetic, diketahui fakta bahwa orang dengan rentang usia 20 hingga 24 tahun menjadi usia pengguna Twitter terbesar, yaitu sekitar 45 persen dari total responden atau sebanyak 4.670 akun.
Hal ini yang menguatkan bahwa kalangan milenial ini memiliki perilaku konsumtif. Belanja, traveling, membeli tiket konser dan film menjadi prioritas mereka. Tak pelak, perilaku konsumtif generasi milenial, terkadang menimbulkan gesekan dengan orangtuanya.
Mendidik Gen Z
Smartphone memiliki peran yang besar dalam kehidupan gen z, seperti channel utama untuk terhubung dengan kawan-kawannya. Selain itu, generasi ini mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas sekolah, berkomunikasi dengan teman, semuanya melalui media internet.
Dilansir teensafe, Dr. Bennett founder dan CEO GetKidsInternetSafe menyebutkan, gen Z adalah anak-anak yang multitasking, instan, penuh tantangan, dan bisa mengatasi tantangan itu. Bagi mereka, semua hal itu menarik dan menyenangkan. Inilah yang membuat mereka betah berlama-lama di dunia maya. Sementara di dunia nyata, mereka berhadapan dengan dunia yang penuh omelan, marah-marah, cap, labeling, membanding-bandingkan, dan sebagainya.
“Pola pengasuhan dan pola pembelajaran anak-anak gen Z ini seharusnya tidak lagi meniru pola pengasuhan generasi sebelumnya. Masalahnya, orangtua dari gen Z ini seringkali tidak tahu bahwa mereka memiliki anak-anak Gen Z dengan beragam kelebihan tadi,” ujarnya.
Orangtua kerap memperlakukan anak-anak gen Z ini seperti mereka diperlakukan ayah ibu mereka 20 – 30 tahun lalu, hal itu seringkali menimbulkan perbedaan persepsi antara anak dan orangtua.
Yang perlu diperhatikan adalah, teknologi dan internet berperan seperti mata pisau. Di satu sisi, mampu memberikan nilai positif bagi perkembangan anak-anak, namun di sisi lain juga menimbulkan dampak negatif. Karenanya, penggunaan internet ini tetap membutuhkan pengawasan dari orangtua.
Mendidik gen Z, perlu tips khusus, seperti dilansir teensave.
Memonitor adalah cara yang sering digunakan dalam parental guidance, Memonitor berbeda dengan memata-matai.
“Memata-matai artinya no trust, no privacy, dan ada tindakan rahasia. Sedangkan memonitoring adalah memberikan kesehatan namun tetap memonitoring. Contohnya seperti dokter memonitoring anak-anak yang sedang tumbuh, guru memonitoring kelas, orangtua memonitoring anak-anaknya terhadap smartphone untuk selalu berhati-hati.
Lalu bagaimana memonitoring anak dengan sehat?
Pertama, menghargai privacy anak. Privacy adalah cara untuk mengembangkan identitas dan kebebasan mereka. Mereka membutuhan bimbingan Anda sekaligus ruang untuk tumbuh dan menjaga kepercayaan Anda.
Kedua, sebelum anak Anda memiliki ponsel pertamanya sebaiknya,
- Bicarakan dengan mereka tentang online savety.
- Katakan kepada mereka bahwa mereka akan berada di bawah pengawasan saat mengakses gadget.
- Katakan alasan mengapa Anda harus memonitoring mereka untuk keselamatan mereka, salah satunya untuk mengetahui jika ada orang asing yang mengontak mereka, dan untuk membantu mereka mengenali konten yang seharusnya belum bisa mereka akses.
- Membuat peraturan yang disepakati bersama. Hal ini penting untuk dilakukan, tujuannya agar anak tahu bahwa penggunaan gadget ini memiliki aturan tersendiri yang harus disepakati, Jangan lupa untuk mencatat segala konsekuensi yang harus dijalani jika anak melanggar peraturan yang telah disepakati.
- Instal software atau aplikasi yang bisa membantu Anda untuk memonitoring si buah hati.
- Katakan kepada buah hati Anda bahwa peraturan yang telah dibuat ini bertujuan untuk melindungi mereka dari kejahatan yang ada di internet.