Setop Mendiskriminasi Penderita Gangguan Jiwa
- Pixabay/Lando
VIVA.co.id – Hari Kesehatan Jiwa Sedunia jatuh pada 10 Oktober mendatang. Kendati demikian, angka kejadian gangguan jiwa di Indonesia tidak bisa dibilang sedikit. Lalu, apa penyebabnya?
Fakta mengatakan bahwa banyak pasien gangguan jiwa di negara berkembang tidak menerima pengobatan. Terlebih, mereka yang usai mengalami penanganan di rumah sakit jiwa, jarang mendapatkan pelayanan kesehatan lebih lanjut.
"Perawatan gangguan jiwa itu tidak lagi fokus pada hospital care tapi lebih fokus pada community care yang baik dilakukan dari lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kontinuitas pengobatan masih harus dilakukan minimal sebulan dan paling lama seumur hidup," ujar spesialis kesehatan jiwa, dr. H. Bambang Eko Sunaryanto, SpKJ, MARS, yang ditemui di Kemenkes RI, Jakarta, Rabu 5 Oktober 2016.
Salah satu penyebab masalah pelayanan gangguan kesehatan jiwa adalah aksesibilitas yang tidak merata di Indonesia. Menurutnya, para tenaga medis masih berkutat di kota besar dan sangat jarang ditemui di daerah terpencil.
"Tenaga medis untuk masalah kesehatan jiwa, 75 persennya di Pulau Jawa. Sebanyak 700 psikiater juga masih bertempat di Jakarta. Bagaimana dengan daerah terpencil lainnya yang sebenarnya juga membutuhkan penanganan kesehatan jiwa?" kata dia.
Selain aksesibilitas, masalah lain yang dihadapi yaitu stigma dan diskriminasi dari masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa. Banyaknya komentar negatif dari masyarakat sekitar, membuat orang-orang lebih tertutup akan penyakit tersebut.
"Orang yang merasa sudah pada tahap gangguan misalnya, dia malu karena takut diskriminasi dari masyarakat. Atau mungkin saja keluarga yang ingin membawanya ke rumah sakit jiwa tapi takut dengan pemikiran negatif dari masyarakat," ucap Bambang.