Rata-rata Perokok Berasal dari Kalangan Miskin
- pixabay/LindsayFox
VIVA.co.id – Jumlah konsumsi tembakau di kelompok keluarga miskin jauh lebih tinggi dibanding mereka yang ada pada kelompok kaya. Jumlah ini juga lebih besar dibandingkan pada kelompok kaya.
Berdasar data Badan Pusat Statistik, konsumsi tembakau di rumah tangga tahun 2011 mencatat bahwa jumlah konsumsi tembakau di rumah tangga termiskin menempati posisi kedua, setelah kebutuhan akan beras. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding dengan pengeluaran untuk biaya pendidikan, sayur, daging.
Atau sekitar 6,5 kali lebih besar dari biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan, dan 5 kali lebih besar dari pengeluaran untuk telur dan susu. Dan pada tahun 2016, rokok menjadi penyumbang kedua setelah beras, sebagai komoditas yang memberi sumbangan terbesar terhadap garis kemiskinan.
"Walaupun program pemerintah bagus tapi tidak bisa menjaga harga beras, maka jumlah orang miskin meningkat. Yang paling menyedihkan, yang kedua setelah beras adalah konsumsi rokok. Orangnya sudah miskin, konsumsi rokok lebih tinggi dari telur dan daging," kata Bambang Widianto, Sekretaris Eksekutif TNP2K (Tim Nasional Percepatan Pengendalian Kemiskinan), di Gedung Stovia, Jakarta Pusat, 30 Agustus 2016.
Lebih lanjut Bambang juga menunjukkan data bahwa rata-rata pengeluaran bulanan untuk tembakau dan sirih pada kelompok miskin jauh lebih tinggi dari kelompok terkaya atau sekitar 12,5 persen pada tahun 2013, dan 11,7 persen di tahun 2001, sedangkan pada kelompok terkaya mengalami penuruan dari 9,4 persen di tahun 2001 menjadi 7,1 persen pada tahun 2013.
Sedangkan Direktur Program CISDI, Anindita Sitepu menegaskan bahwa kenaikan harga rokok memang ditujukan pada kelompok miskin, anak dan remaja. Di mana mereka akan terdampak dengan kenaikan harga ini, sehingga setidaknya akan berpikir ulang sebelum membeli.
"Karena kita harus tahu dahulu bahwa peningkatan harga rokok itu untuk anak-anak, remaja dan orang miskin. Sehingga harga dibuat secara signifikan naik, sehingga mereka tidak mampu. Itu adalah kelompok yang paling diutamakan untuk intervensi ini."
Hal tersebut tak lain juga untuk mencapai goals 17 SDGs atau Sustainable Development Goals, di mana untuk mencapai goals tersebut pemerintah harus memiliki generasi muda yang berkualitas yang bisa merealisasikan potensi ekonomi, kesehatan dan pendidikan, dan tembakau merupakan penghalang bagi upaya tercapainya SDGs dan MDGs (Millenium Development Goals).
"Pengendalian tembakau dapat membantu pencapaian butir satu SDGs, yaitu mengakhiri kemiskinan dalam bentuk apapun. Manakala kelompok masyarakat berpendapatan rendah dapat mengalokasikan uangnya untuk belanja kebutuhan primer yang lebih penting daripada untuk membeli rokok," kata Diah Saminarsih, Staf Khusus Menteri Kesehatan RI bidang Peningkatan Kemitraan dan SDGs.
Melakukan edukasi pada kalangan kurang mampu akan menjadi komponen penting untuk menyadarkan mereka akan bahaya rokok ke depannya.
"Rokok sangat banyak dikonsumsi orang miskin. Kalau uangnya untuk rokok, mereka tidak bisa membeli makanan yang baik. Edukasi tidak sampai ke orang miskin dan mereka yang pendidikannya rendah lebih tergoda untuk konsumsi rokok," ujar Bambang.