IDAI: Tak Ada Larangan Dokter Stok Vaksin
- Syaefullah/ VIVA.co.id
VIVA.co.id – Dari kasus vaksin palsu, ada satu hal menarik yang diungkapkan oleh orangtua dari anak-anak yang diduga menerima vaksin palsu. Mereka rata-rata mengaku ditawari vaksin stok dokter.
Menanggapi hal ini, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dokter Aman Bhakti Pulungan saat jumpa pers di kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Menteng, Jakarta Pusat, 18 Juli 2016, mengatakan bahwa dokter tidak dilarang untuk stok vaksin.
"Dokter boleh memberi vaksinasi, dan di undang-undang kesehatan boleh memberi obat injeksi di tempat praktiknya. Tidak ada yang melarang, dokter boleh stok vaksin atau injeksi," ujarnya.
Namun Aman juga mengatakan meski demikian, terkait transaksi langsung di dokter atau suster seperti yang dikeluhkan para orangtua perlu dinilai sebagai hal yang berbeda. "Masalah transaksi perlu dinilai berbeda."
Sedangkan terkait sediaan vaksin yang diakui tersangka penyebab adanya vaksin palsu adalah karena kekosongan stok yang terjadi sejak lama, Ketua Umum PB IDI, Prof.Dr.Ilham Oetama Marsis menambahkan, bahwa kekosongan telah terjadi sejak lama."Sejak tahun 2013 temuan kekurangan vaksin sudah dilaporkan."
Ilham juga menyayangkan sikap masyarakat yang seolah memojokkan profesi dokter, padahal masalah ini tidak sepenuhnya tanggung jawab dokter dan rumah sakit.
"Tidak satupun peraturan perundangan yang mengatakan bahwa dokter bertanggung jawab atas obat di rumah sakit. Apotek, Dinas Kesehatan bertanggung jawab, tidak ada satupun yang mengatakan pengadaan adalah kewajiban dokter."
"Ada rantai distribusi, dari hulu sampai hilir. Jangan hanya hilirnya saja. Saya berharap pemerintah jangan tangkap dokter, bidan, suster, tapi siapa di balik semua ini. Dan tentunya itu bukan tugas IDI, tapi aparat keamanan," tambahnya.
Sekjen PB IDI, Dr.Moh Adib Khumaidi juga mengatakan hal serupa. "Ada rantai distribusi, kalau kita hanya cut off di hilir saja, dokter dan rumah sakit, ini rantainya bagaimana. Selama ini pengawasan bagaimana, apakah kemudian membiarkan (mohon maaf) toko obat berkeliaran di mana-mana, kemudian bisa menjual obat-obat yang seharusnya tidak bisa di jual di toko obat, ini harus mendapat evaluasi juga."