Kasus Vaksin Palsu Dinilai Sudutkan Profesi Dokter dan RS
- ANTARA FOTO/Rosa Panggabean
VIVA.co.id – Kasus vaksin palsu hingga kini masih menjadi topik hangat yang diperbincangkan masyarakat. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) merasa curiga ada grand design dalam kasus ini. Demikian ungkap Ketua Umum PB IDI, Prof.Dr.Ilham Oetama Marsis.
"Tentunya kita mengetahui ini ada satu grand design yang luar biasa yang cukup mengagetkan, dan menurut hemat saya menyudutkan profesi dokter dan rumah sakit," ujar Ilham dalam jumpa pers 'Pernyataan Sikap PB IDI-PERSI-ARSSI', di Kantor PB IDI Menteng, Jakarta Pusat, 18 Juli 2016.
Ia pun mempertanyakan, apa yang dilakukan satu design yang dimulai pada tahun 2013 lalu, yang dimulai dengan suatu invervensi di sistem pendidikan dan pelayanan dokter di Indonesia. Karena hal ini, ke depannya, pihak PB IDI tidak akan main-main mengenai masalah vaksin.
"Pada tahun 2019 yang akan datang, kita akan masuk ke universal health coverage dan seluruh sistem pelayanan 90 persen penduduk akan dicover dengan sistem insurance, dan tentunya kita melihat pada tahun 2016 ke depan tentunya masuk 2017, kita sudah masuk ke suatu era terbuka untuk supply di Indonesia," terangnya.
Ilham pun menyadari, ada benang merah dari kasus ini yang harus dicermati. Jika tidak waspada, ia yakin akan terjadi ketidakpercayaan masyarakat terhadap dokter-dokter di Indonesia.
"Itu yang sudah terjadi. Kedua, juga mulai hilangnya kepercayaan pada rumah sakit-rumah sakit di Indonesia. Ini suatu grand design yang memojokkan profesi dan pada rumah sakit di Indonesia."
Adanya grand design seperti inilah, lanjutnya yang menimbulkan kehawatiran pada tubuh IDI. "Kalau kekosongan ini terjadi akan memudahkan intervensi dari luar, tentu ini tidak kita kehendaki."
Hal tersebut diperjelas dengan pernyataan dari Sekjen PB IDI, Dr.Mohammad Adib Khumaidi yang meminta agar kasus vaksin palsu ini tidak dipolitisasi.
"MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) mengarah pada Trans-Pacific ekonomi Asean yang salah satu disitu adalah terkait jasa kesehatan, dimana salah satu komponennya adalah tenaga medis."
Lebih lanjut Adib menambahkan, ini yang menjadi kekhawatiran IDI. Jangan sampai isu ini hanya dipolitisasi untuk semakin menyudutkan, hingga menimbulkan citra negatif. "Menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap dokter Indonesia, itu yang kita khawatirkan, dan itu adalah yang disampaikan ketua umum."
"Mudah-mudahan ini tidak terjadi. Tapi ini bisa menjadi satu hal yang bisa terjadi kalau hal ini kemudian semakin digulirkan, semakin akhirnya kepercayaan masyarakat semakin turun. Di sini kita butuh peran media untuk meningkatkan citra dokter Indonesia."
(ren)