Mengungkap Sindrom Patah Hati
- U-Report
VIVA.co.id – Patah hati bukan hanya sekadar masalah orang yang mengalami putus cinta atau ditolak seseorang yang disukai. Patah hati ternyata memiliki makna lebih dalam dari sekadar hubungan asmara yang tidak berjalan lancar, tetapi juga soal kehilangan orang yang sangat dicintai atau paling disayang. Dalam kondisi ini, harus diperhatikan juga soal sindrom patah hati.
Sindrom patah hati atau dikenal sebagai stress cardiomyopathy atau Takotsubo cardiomyopathy pertama kali dijelaskan di Jepang tahun 1990. Sindron ini juga sudah diakui di Australia dalam 10 tahun terakhir ini.Â
Sindrom patah hati berhubungan erat, baik secara fisik ataupun emosional. Seperti kematian atau kehilangan orang yang dicintai, kecelakaan fatal, penyakit tiba-tiba atau bencana alam.
Sebagai contoh, ada 21 kasus baru ditemukan hanya beberapa hari setelah gempa bumi melanda Selandia Baru, Christchurch tahun 2011.Â
Yang perlu dipehatikan gejala dari stress cardiomyopathy adalah nyeri di bagian dada dan lengan, napas pendek, pusing dan hilang kesadaran, mirip dengan serangan jantung.
Tapi tidak seperti serangan jantung, seperti dilansir laman ABC, di mana ada penyumbatan arteri koroner yang mempengaruhi aliran darah ke jantung, yang secara permanen bisa merusak otot jantung. Stress cardiomyopathy biasanya tidak menyebabkan kerusakan permanen
Pada Stress cardiomyopathy otot jantung akan kembali berfungsi normal dalam waktu seminggu, dan kadang dalam 24 jam setelah perawatan intensif.
Penelitian tentang penyakit ini sendiri masih jarang dan belum ada panduan untuk perawatan, serta obat untuk mengurangi kekambuhan.
Dr Kucia dari Rumah Sakit Queen Elizabeth di Adelaide mengatakan, pada kasus tertentu, "seorang pasien awalnya mengalami serangan jantung rutin, setidaknya keluarga dan teman tahu apa itu. Tapi mereka tidak mengerti sindrom patah hati, jadi mereka seringkali melewatkannya."
Susan Sierp, seorang konsultan di Lyell McEwin Hospital mengatakan, beberapa penderita Takotsubo akan pulih secara fisik. “Jadi saya rasa konseling langsung atau kelompok kesehatan mental akan lebih menguntungkan untuk mengurangi faktor risiko." (ase)
Â