Pemalsuan Obat di Indonesia Jauh di Bawah Afrika
- Pixabay
VIVA.co.id - Di Indonesia meski pemalsuan obat telah berlangsung selama bertahun-tahun, hanya sekitar 1-2 persen jika dibanding negara lain yang sudah di atas 10 persen. Meski demikian, obat palsu akan terus beredar jika masyarakat sebagai konsumen masih membeli obat-obatan tersebut.
Dibanding wilayah Afrika dan Asia lainnya, Indonesia masih jauh dari negara itu soal pemalsuan obat, yang sudah mencapai 10 hingga 80 persen, atau wilayah Asia lainnya yang mencapai 10 hingga 40 persen. Kendati begitu, jangan sampai Indonesia lengah dan menjadi seperti wilayah tersebut.
"Kalau sampai seperti Afrika, itu sudah luar biasa menakutkan," ujar T Bahdar Johan, Deputi I Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam acara Upaya Memerangi Obat Palsu dan Menyukseskan Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman (GN-POPA) di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 18 Februari 2016.
Untuk itu, peredaran obat palsu harus segera dicegah. Hal ini bisa dilakukan dengan segitiga, yaitu peran antara masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah. Meski BPOM telah berperan dengan maksimal untuk mencegah dan memberantas obat palsu, jika tak diimbangi dengan peran aktif masyarakat dan pelaku usaha, tentu tidak akan berjalan.
"Maraknya pemalsuan obat di Indonesia sendiri terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat untuk membedakan obat palsu dan asli, serta dampak yang ditimbulkan dari obat palsu, dan masih perlu ditingkatkannya koordinasi antara penegak hukum dan stakeholders terkait, seperti BPOM dan polisi," ujar Ketua Umum International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), Luthfi Mardiansyah.
Dia menjelaskan, obat palsu ataupun obat ilegal yang biasa dipalsukan adalah obat dengan harga mahal dan banyak peminatnya, seperti obat disfungsi ereksi, kolesterol, dan pelangsing.
(mus)