30 Hari Puasa: Apa Saja yang Berubah di Dalam Tubuh Kita?
- Pixabay/Serdar_A
Jakarta, VIVA – Selama bulan suci Ramadan, sekitar 2 miliar Muslim di seluruh dunia menguji ketahanan fisik dan mental mereka. Meskipun banyak yang mengerti manfaat berpuasa dari fajar hingga senja, pengaruhnya terhadap tubuh dan pikiran masih belum sepenuhnya dipahami.
Puasa adalah kondisi di mana seseorang tidak mengonsumsi kalori dalam jangka waktu tertentu, yang memicu perubahan metabolisme dan fungsi tubuh. Ada berbagai jenis puasa, seperti puasa terapeutik, intermiten, dan keagamaan, masing-masing memiliki dampak fisiologis yang berbeda.
Mohammed Mahroos, konsultan dan ilmuwan penelitian klinis di Pusat Penelitian Rumah Sakit Spesialis King Fahad, menjelaskan apa yang terjadi pada tubuh saat seseorang berpuasa selama 30 hari.
"Puasa memberikan waktu istirahat bagi sistem pencernaan, yang memungkinkan tubuh untuk fokus pada perbaikan sel dan detoksifikasi,” ungkap Mohammed Mahroos, melansir Arab News, Rabu 26 Maret 2025.
Puasa menurunkan kadar insulin dan glukosa, sehingga tubuh lebih cenderung membakar lemak daripada menyimpannya. Ketika cadangan glikogen—bentuk penyimpanan glukosa—habis, tubuh mulai menggunakan lemak sebagai sumber energi utama dalam proses yang disebut ketosis.
Secara medis, puasa sering digunakan untuk mengatasi obesitas, resistensi insulin, dan gangguan metabolisme. Sebuah studi yang diterbitkan di New England Journal of Medicine pada 2019 menemukan bahwa puasa intermiten dapat meningkatkan metabolisme dan mengurangi resistensi insulin, menjadikannya metode efektif dalam pencegahan diabetes tipe 2.
"Jika diikuti dengan diet seimbang, puasa meningkatkan efisiensi metabolisme. Manfaatnya baru terasa jika diet terkontrol setelah periode puasa," ujarnya.
Mengonsumsi makanan tidak sehat saat berbuka, seperti gula olahan, lemak terhidrogenasi, dan makanan cepat saji, dapat mengurangi manfaat puasa dan berisiko menimbulkan masalah kesehatan.
Puasa juga merangsang autofagi, proses seluler yang membantu regenerasi sel dan memperkuat sistem kekebalan tubuh. Penelitian oleh ahli biologi Jepang, Yoshinori Ohsumi, pemenang Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2016, membuktikan pentingnya proses ini bagi kesehatan.
Dalam Islam, puasa dilakukan dengan menahan diri dari makan dan minum sejak matahari terbit hingga terbenam. Selain manfaat fisiknya, praktik ini juga memiliki dimensi spiritual dan psikologis yang mendalam. Puasa melatih disiplin diri, memperkuat tekad, dan meningkatkan kejernihan mental.
Bagaimana kondisi tubuh setelah puasa 30 hari?
Saat berpuasa, tubuh pertama-tama menggunakan cadangan glikogen sebagai sumber energi. Seiring berjalannya waktu, kadar insulin menurun, sehingga lemak mulai dibakar, sementara sekresi hormon pertumbuhan meningkat, yang membantu perbaikan jaringan dan metabolisme. Namun, perubahan kadar gula darah dapat menyebabkan rasa lelah dan lapar.
Menurut studi Journal of Neuroscience (2021), puasa jangka pendek merangsang produksi faktor neurotropik yang meningkatkan fungsi kognitif dan dapat menurunkan risiko penyakit seperti Alzheimer. Selain itu, puasa intermiten terbukti menurunkan kadar kolesterol jahat, memperbaiki tekanan darah, dan mengurangi risiko penyakit jantung.
Saat seseorang berpuasa selama 30 hari, tubuh memasuki fase adaptasi jangka panjang, yang membuat metabolisme lebih efisien. Sensitivitas insulin meningkat, mengurangi risiko diabetes, sementara peradangan kronis berkurang, yang bermanfaat bagi kesehatan jantung dan sistem kekebalan tubuh.
Puasa juga menstimulasi autofagi, proses yang membantu menghilangkan sel rusak dan memperbaiki jaringan. Studi di Cell Stem Cell (2014) menunjukkan bahwa puasa mendukung sistem kekebalan dengan meningkatkan produksi sel darah putih, sehingga tubuh lebih tahan terhadap penyakit.
Selain manfaat kesehatan, puasa juga dapat membantu penurunan berat badan secara bertahap, asalkan pola makan seimbang tetap dijaga setelah berbuka.