Penelitian Ungkap Dampak Paparan Polusi Tinggi Sebabkan Kehamilan Lebih Lama
- Istimewa
VIVA – Penelitian baru menunjukkan bahwa orang yang terpapar polusi udara tingkat tinggi dan suhu ekstrem selama kehamilan memiliki masa kehamilan lebih lama dibandingkan orang yang tidak terpapar kondisi tersebut.
Paparan polusi udara luar dan suhu ekstrem yang lebih tinggi dari biasanya dapat meningkatkan risiko kehamilan yang berlangsung lebih lama, menurut penelitian baru. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Studi terhadap hampir 400.000 kelahiran di Australia menunjukkan bahwa ibu hamil yang terpapar suhu sangat panas atau sangat dingin, serta polusi udara dengan partikel halus (PM2.5), lebih mungkin melahirkan setelah 41 minggu dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami kondisi tersebut.
Biasanya, kehamilan berlangsung sekitar 40 minggu. Bayi yang lahir setelah 41 minggu disebut sebagai kelahiran “term”, sedangkan setelah 42 minggu disebut “post-term”.
Ilustrasi ibu hamil.
- freepik by freepik
Keterlambatan ini bisa meningkatkan risiko komplikasi karena ukuran bayi yang terlalu besar, seperti pendarahan saat melahirkan, serta kemungkinan lahir mati atau kematian setelah lahir.
Para ilmuwan yang melakukan penelitian baru ini menggambarkan temuan mereka dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada 31 Januari di jurnal Urban Climate. Mereka mengklaim sebagai pihak pertama yang menyelidiki bagaimana perubahan iklim dapat mempengaruhi risiko kehamilan berkepanjangan.
"Kita tahu bahwa 'lahir terlalu cepat' atau kelahiran prematur memiliki risiko kesehatan yang terdokumentasi dengan baik, namun hanya sedikit perhatian yang diberikan terhadap risiko yang terkait dengan 'lahir terlambat',” kata pemimpin penelitian Sylvester Dodzi Nyadanu, peneliti kesehatan lingkungan di Curtin University di Australia, melansir Live Science, Senin 17 Februari 2025.
Dalam studi baru tersebut, para peneliti memeriksa berapa banyak polusi udara PM2.5 yang terpapar pada 393.384 orang setiap bulan sesaat sebelum dan selama kehamilan, dari tiga bulan sebelum pembuahan hingga saat mereka melahirkan, berdasarkan tempat tinggal mereka.
Ilustrasi ibu hamil
- pixabay
Pada periode waktu yang sama, mereka juga menggunakan metrik yang dikenal sebagai Indeks Iklim Termal Universal (UTCI) untuk memperkirakan seberapa besar tekanan panas yang dialami tubuh mereka akibat cuaca, dengan memperhitungkan unsur-unsur seperti suhu dan kelembapan udara.
Secara keseluruhan, mereka menemukan bahwa 12% atau 47.380 ibu mengalami kehamilan berkepanjangan (artinya 41 minggu atau lebih) dan tingkat paparan PM2.5 dan tekanan panas yang lebih tinggi yang diukur dengan UTCI meningkatkan kemungkinan hal ini terjadi.
Kondisi ini terjadi setelah mereka mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi durasi kehamilan, seperti merokok, status sosial ekonomi, ras dan etnis, serta usia ibu.
"Orang-orang yang baru pertama kali melahirkan, orang-orang yang berusia di atas 35 tahun, dan orang-orang yang tinggal di daerah perkotaan sangat rentan terhadap dampak-dampak ini. Paparan suhu ekstrim dan polusi udara dapat memperpanjang kehamilan dengan berbagai cara," kata para peneliti.
Misalnya, kedua faktor tersebut dapat meningkatkan produksi molekul tidak stabil yang disebut “spesies oksigen reaktif” yang dapat mengganggu fungsi hormonal.
Risiko tersebut mungkin menjadi lebih nyata karena perubahan iklim meningkatkan jumlah kejadian cuaca ekstrem dan menurunkan kualitas udara.
“Studi ini menyoroti perlunya kebijakan yang ditargetkan dan langkah-langkah pencegahan untuk mengurangi risiko kesehatan terkait iklim, termasuk peraturan kualitas udara yang lebih baik dan inisiatif kesehatan masyarakat yang bertujuan melindungi ibu hamil dan anak dari kondisi iklim ekstrem,” tambahnya.